Judul : Cinta Tak Kenal Batas Waktu
Penulis : Wulan Murti
Penerbit : Senja
Terbit : 2016
Tebal : 212 halaman
ISBN : 978-602-391-091-5
“...
mengapa aku selalu menapaki tilas? Untungnya apa aku mengulang kenangan sendirian?
Untuk apa semua ini? apa arti tapak tilasku?” – halaman 61.
Candra adalah seorang gadis yang
ditinggalkan oleh kekasihnya. Bukan ditinggal karena diduakan, melainkan karena
kematian. Meski sudah setahun berlalu, namun Candra belum bisa sepenuhnya
menerima kepergian Fabian. Itu sebabnya, ia masih sering pergi ke Bandung,
untuk mengunjungi makam Fabian dan menapak tilasi setiap tempat yang penuh
kenangan antara ia dan kekasihnya. Bagaimana pun, ia masih merasa bahwa Fabian
masih ada di sampingnya.
Namun, pertemuannya dengan orang-orang
yang mengetahui kisahnya dengan Fabian membuatnya tersadar. Semua yang
dilakukannya ini adalah hal yang konyol dan sia-sia belaka. Fabian tak akan
pernah kembali meski ia telah menapak tilas sebanyak seribu kali.
Puncak konflik cerita pada novel ini ada
pada sebuah surat dari Fabian. Dalam suratnya, Fabian menuliskan bahwa cinta
mereka tak akan pernah berubah, bagaimana pun keadaannya. Singkat cerita, dari situ
Candra pun ‘bangkit’ dan merelakan Fabian seutuhnya.
Dalam novel ini, Candra diposisikan
sebagai pemeran utama. Ia digambarkan sebagai seorang gadis yang ‘rapuh’ dan
kehilangan keceriaan semenjak Fabian pergi. Sedangkan, Fabian sendiri
digambarkan sebagai sosok yang menenangkan. Ia berperawakan tinggi tapi agak
sedikit gemuk, putih, dan bermata sipit.
Selain, kedua tokoh tersebut, tokoh lain
yang cukup ‘vokal’ dalam novel ini adalah Joseph dan Marlin –sahabatnya,
orangtua Fabian, Bu Rasmi dan Arga. Sayangnya, Bu Rasmi dan Arga di sini hanya
difungsikan sebagai ‘latar penyambung’ saja, tak lebih. Saya sempat terkecoh
karena awalnya saya kira Arga dan Bu Rasmi di sini akan memiliki peran yang
lebih.
Secara keseluruhan, ide novel ini
terbilang mainstream. Banyak novel
lain yang memiliki ide serupa dengan novel ini. Sehingga, cukup wajar apabila
pembaca agak kesulitan dalam menemukan point
of interest dari novel ini.
Lepas dari itu, untuk segi kover, desain
gambarnya terlalu penuh. Hal tersebut malah membuat judul novel menjadi
tenggelam, justru sub-judulnya yang lebih mecolok. Lebih detail lagi, pemilihan
huruf untuk sub-judulnya pun terkesan ‘patah’ jika disandingkan dengan tipe
huruf yang digunakan untuk judul dan nama penulis. Lebih lanjut, warna yang
digunakan pada latar belakang sampul pun terkesan agak ‘mati’ jika dipadukan
dengan warna gambar.
Comments
Post a Comment