Sumber: Goodreads |
Judul : Nyanyian Akar Rumput
Penulis :
Wiji Thukul
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
kedua, Maret 2015
Tebal :
248 halaman
ISBN :
978-602-03-0289-8
Jujur saya bingung harus menuliskan apa
untuk membahas buku ini. Tiba-tiba apa yang ada dipikiran saya sebelumnya
hilang dan tak menyisakan ampas. Hmmm... mungkin ini pertanda bahwa saya harus
menuliskan kesan terhadap buku ini secara ringkas saja.
Ah, baiklah! Pertama, yang jelas, buku ini merupakan antologi puisi. Ratusan puisi
di dalamnya terbagi ke dalam tujuh bagian. Secara keseluruhan, puisi-puisi yang
ditulis oleh Wiji Thukul di sini memiliki keberpihakan pada masyarakat akar
rumput. Hal ini, bagi saya, wajar saja sebab sang penyair sendiri berasal dari
keluarga dengan “kelas” tersebut. Dan semakin wajar mengingat bahwa dirinya
adalah salah satu aktivis HAM.
Kalau boleh saya bilang, beberapa puisi
di dalamnya penuh dengan nada “provokatif”. Namun, hal itu bukan tanpa dasar. Maksud
saya, puisi tersebut benar-benar dibuat berdasar kondisi sosial yang terjadi
saat itu. Yang menarik bagi saya, selalu ada kritik, baik secara tersurat
maupun tidak, pada setiap puisinya.
Tentu ada beberapa puisi yang saya
favoritkan. Salah duanya ialah yang berjudul “Tanah” –belakangan baru saya
sadari bahwa di Indonesia banyak sekali konflik-konflik terkait agraria, dan
puisi ini berhasil menyentil kesadaran saya– serta “Teka-teki yang Ganjil”.
Lalu,
yang kedua, secara teknis, saya
sangat menyukai desain sampulnya. Dalam Bahasa Indonesia, wiji thukul itu
sendiri berarti biji yang tumbuh. Dan desain gambar yang tertera pada kover
buat saya sangat menarik. Begitu pula dengan pemilihan warnanya yang mencolok,
tapi tidak menyakitkan mata. Secara sekilas memang terlihat sederhana. Dan bukankah
sosok Wiji Thukul itu sendiri memang sederhana?
Sayangnya, saya agak menyayangkan
beberapa tata letak pada halaman dalam, yang spasi antarbarisnya dibuat tidak
sama dengan kebanyakan halaman lain. Seperti puisi “Pasar Malam” pada halaman 128,
misalnya. Di situ terlihat spasi antarbarisnya lebih rapat. Bukan masalah
besar, sih, sebetulnya. Saya juga paham, mungkin maksudnya untuk “menghemat
halaman” dan biar lebih rapi. Namun, rasanya di mata, kok, tidak enak. Seperti ada
yang njomplang.
Akhir kata, puisi mana yang kamu suka?
Comments
Post a Comment