[Book Review] Pride and Prejudice


Antara Harga Diri dan Prasangka
Sumber: goodreads

Judul : Pride And Prejudice
Penulis : Jane Austen
Penerjemah : Berliani Mantili Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan ke- : I, Desember 2014 (Edisi Kedua)
Jumlah Halaman : 588 halaman
ISBN : 978-602-7870-84-0

“Faktanya adalah kau sudah lelah menerima kesopanan, kehormatan, dan perhatian yang berlebihan. Kau sudah muak dengan para wanita yang berbicara, memandang, dan berusaha keraas untuk mencari persetujuan darimu. Lalu aku datang, dan kau langsung tertarik karena aku sangat berbeda dari mereka.”
 – halaman 572.
Membaca salah satu kisah klasik yang populer sepanjang masa ini rasanya tak ada habisnya untuk dibahas. Ada magnet yang membuat kita ingin terus dan terus membacanya dan tak berhenti sebelum kita menandaskannya. Dan itu terjadi pada saya. Lebih dari itu, kini rasanya saya semakin ingin untuk membiasakan diri membaca membaca kisah-kisah klasik.
Saya pikir, tak perlulah saya menceritakan secuil kisah yang ada di dalamnya. Saya yakin pasti banyak di antara kalian yang telah membacanya lebih dulu daripada saya. Namun, intinya adalah roman ini berkisah tentang kaum menengah ke atas pada abad ke-19 yang digambarkan melalui kehidupan yang dijalani keluarga Elisabeth. Yang saya kagumi dari roman ini adalah penokohannya. Jane memberikan nyawa yang sama-sama kuat pada setiap tokoh yang ada.
Seperti Mr. Bennet yang rumit, acuh tak acuh, dan selalu ada sedikit nada dan kata sinis dalam humornya. Mrs. Bennet yang suka bertamu –alih-alih pamer, memiliki pemahaman pas-pasan, pengetahuan yang sempit, dan temperamen yang angin-anginan. Elisabeth yang ceria dan cerdas. Mr. Fitzwilliam Darcy, si pemuda kaya yang dianugerahi ketampanan yang menawan serta tegas dan pintar. Mr. Bingley yang menyenangkan dan ramah. Dan masih banyak tokoh lainnya yang tak sanggup saya tuliskan di sini karena saya terlalu malas dan takut kalian yang membacanya akan mati kebosanan.

Rasanya untuk segi cerita –alur, penokohan, dan konflik, tak ada yang perlu dirisaukan. Semuanya memikat. Sedangkan, untuk penerjemahannya buat saya tidak terlalu buruk. Meski harus saya akui bahwa ada satu dua kalimat yang menuntut saya untuk membacanya beberapa kali. Tapi toh buat saya itu tidak masalah. Bagaimana pun ini adalah roman klasik yang mana penggunaan bahasanya “berbeda”. Seketika saya jadi membayangkan jika saya dihadapkan langsung untuk membaca naskah asli dari kisah ini. Pasti saya belum sanggup untuk menyanggupinya. Bagaimana pun, sekalipun itu menggunakan bahasa inggris, namun saya yakin frase-frase yang digunakan beda. Ah, ya kalian tahu kan maksud saya?
Anyway, novel yang saya beli ini adalah terbitan Qanita edisi kedua. Sebetulnya, alasan utama saya untuk membawa pulang novel ini adalah karena desain sampulnya yang elegan. Saya memang telah jauh-jauh hari berkeinginan untuk membeli novel ini. Namun, rencana saya untuk membelinya menjadi lebih cepat saat melihat cetakan terbarunya ini.

Buat saya, sampul kali ini adalah sampul Pride and Prejudice yang paling elegan. Dan satu lagi, sampulnya juga memiliki kesan feminin, menawan sekaligus “kuat” –ah, apa ya padanan kata yang tepat? Intinya, saya melihat bahwa apa yang ada pada sampulnya sama persis dengan kepribadian yang dimiliki oleh Elisabeth.
Terakhir, sebelum saya menutup tulisan ini. Saya akan membuat pengakuan bahwa saya telah jatuh cinta pada Fitzwilliam Darcy. Akhirnya, selamat membaca!

Comments