[Book Review] Negeri Para Bedebah


Pertarungan Para Bedebah

Sumber: goodreads

Judul : Negeri Para Bedebah
Penulis : Tere Liye
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman : 440 halaman
ISBN : 978-979-22-8552-9

“Baru beberapa hari lalu aku ceramah... tentang sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara yang baik... tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar.” – halaman 56.

Begitulah. Kehidupan Thomas berubah dratis hanya dalam waktu beberapa hari. Kehidupan yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Thomas yang tadinya hanya sekedar konsultan keuangan profesional, dalam kurun waktu kurang dari dua hari berubah menjadi otak pelarian buronan kelas kakap. Sang buronan adalah pamannya sendiri –Om Liem si pemilik bank besar dan imperium bisnis raksasa, yang mana tersandung kasus kejahatan keuangan.

Awalnya, Thomas sama sekali tak peduli dengan nasib sang paman. Namun, kemudian ia berubah ketika mendengar dua buah nama. Dua nama yang sama sekali tak asing baginya. Yang membuat ia kehilangan papa mamanya. Dan dari situlah, kemudian ia melihat adanya celah untuk membalaskan dendam keluarga.

Meski novel yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama ini memiliki tema yang sangat berbeda dari novel-novel yang ditulis oleh Tere Liye lainnya, namun ciri khas dari sang penulis sama sekali tidak hilang atau berubah di sini. Gaya bahasa, cara penceritaan, pola permainan alur, semuanya sama. Begitu pula dengan pesan moral, yang mana selalu ia selipkan, baik secara tersirat maupun tersurat –namun, saya rasa pesan moral pada novel ini lebih ke secara tersirat.

Kalau saya bilang, penokohan Thomas di sini cukup kuat. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang lain. Magie, Julia, dan Opa. Latar waktu yang digunakan pada novel ini sebetulnya sangat singkat, hanya Jum’at, Sabtu, Minggu, dan Senin –kalau saya tidak salah diingat dimulai pada Hari Jum’at. Maka dari itu, yang “dijual” pada novel ini adalah detail-detail ceritanya. Jadi, saat membacanya saya sarankan agar kalian tidak membacanya dengan teknik skimming.

Unsur yang paling saya suka dari novel ini adalah konfliknya. Novel ini memiliki konflik yang kuat dan terus berkelanjutan. Bagusnya lagi, kita –sebagai pembaca, diberikan waktu untuk “rehat” dengan fragmen-fragmen kisah masa lalu agar tidak lelah dalam mencerna “pertarungan” di dalamnya. Selain itu, meski –seperti yang saya bilang tadi, latar waktu yang digunakan sangat singkat, namun permainan temponya cukup pas. Tidak berjalan lambat dan tidak pula sebaliknya.

Anyway, lepas dari hal itu, saya ada satu hal yang kemudian membuat saya bertanya-tanya. Kira-kira, bagaimana kelanjutan kisah antara Thomas dengan Julia, ya? Memang, sih, di novel ini kedekatan mereka hanya digambarkan sebatas teman. Namun, saya pikir sepertinya “lucu” juga kalau dibuat cerita kelanjutannya hehe. Saya sendiri belum sempat membaca buku keduanya –Negero di Ujung Tanduk, jadi belum tahu kelanjutannya. Maka, maklum saja bila saya masih bertanya-tanya.

Untuk segi teknis sendiri, saya merasa tidak ada masalah. Saya cukup suka dengan gambar sampulnya. Menurut saya itu sederhana tetapi terbilang representatif.

Akhirnya, selamat membaca!

Comments