[Book Review] Yang Hidup dan Mati


Antologi Cerpen Karya Tagore
Sumber: goodreads

Judul : Yang Hidup dan Mati
Penulis : Rabindranath Tagore
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : Desember, 2014
Jumlah Halaman : 383 halaman
ISBN : 978-602-255-771-5

Bagi seseorang yang sangat menyukai sastra, saya pikir nama Tagore tidaklah asing lagi bagi telinga mereka. Dan, ya, kalau boleh jujur sebelumnya, meski saya memang sering mendengar nama Tagore, namun saya belum pernah membaca satu karyanya sekalipun. Baru pada kesempatan kali inilah, akhirnya saya membaca juga beberapa karyanya, yang mana terkumpul dalam suatu buku. Sebuah buku berjudul “Yang Hidup dan Mati” –diterjemahkan dari buku Selected Short Stories, yang berisikan 30 buah cerpen karya Tagore.

Kalau soal bagaimana komentar saya pribadi mengenai cerita-cerita pendeknya, saya pikir ini bukan lagi tempatnya untuk mengomentari. Maka dari itu, mungkin pada tulisan kali ini saya tidak akan terlalu banyak mengulas tentang isinya, dan justru lebih cenderung mengulas teknisnya. Yang pasti, yang saya dapat katakan setelah membaca novel ini adalah bahwa tema-tema yang diangkat oleh Tagore untuk cerpennya sebetulnya cukup sederhana. Ia mengambil realitas kehidupan sehari-hari yang mana dekat dengan kita –yang mungkin juga sering tak kita sadari. Seperti misalnya pada cerpen yang berjudul Untung dan Rugi –tentang ketamakan seorang mertua, Kepala Kantor Pos –tentang perpisahan, dan Sang Nyonya Rumah –tentang tindak bullying. Bagusnya tentang
pengangkatan tema-tema tersebut –buat saya, adalah dapat dijadikan sebuah cerminan agar kita dapat lebih tersadarkan akan apa yang ada di sekitar kita. Sebab, terkadang kita lupa dengan dunia yang “sebenarnya” ini –dan justru terjebak dalam dunia maya. Terlebih di jaman sekarang ini.
Anyway, tanpa bermaksud membandingkan atau menyamakan, tapi pengangkatan tema yang seperti itu mengingatkan saya terhadap cerpen-cerpen milik Ahmad Tohari –yang mana juga mengangkat tema sederhana mengenai kehidupan sehari-hari dengan menggunakan “orang-orang kecil” sebagai tokoh utama. Ya, yang pasti pula di antara keduanya, mereka sama-sama memberikan kritik secara tersirat pada setiap karya-karyanya.
Lalu, untuk soal terjemahan buku ini sendiri, saya pikir tak ada yang perlu dikhawatirkan. Terjemahannya tidak buruk, kok. Kalau saya pribadi, sih, sejauh ini tidak mengalami kendala dalam memahami kalimat per kalimat. Dan, ah, iya. “Yang Hidup dan Mati” –yang mana dijadikan judul pada buku ini, tidak lain juga merupakan salah satu judul cerpen yang ada di dalamnya. Oh ya, sebelumnya, di sini saya tidak akan menuliskan bagaimana sinopsis cerita-cerita di dalamnya. Sebab, (1) cerita di dalamnya sangatlah banyak, tak adil rasanya jika hanya menuliskan salah satu atau salah dua diantaranya, (2) buat saya aneh pula rasanya jika harus “meringkas” cerita sebuah cerpen. Maksud saya, bukankah cerpen itu adalah sebuah cerita pendek? Jadi, bukannya apabila kita ringkas ceritanya yang ada nanti justru “habis”?
Nah, masih terkait dengan judul buku. Saya pikir pastinya ada sebuah pertimbangan tersendiri mengapa salah satu judul cerpen di dalamnya dijadikan sebuah judul untuk antologi cerpen ini. akan tetapi, yang pasti jika ditarik ke segi teknis, yakni sampul, saya pikir terkadang ini bisa menjadi hal yang cukup riskan, ya. Riskan di sini maksudnya adalah jika kurang “pintar” bisa jadi nantinya desain sampul justru kurang atau bahkan tidak representatif dengan cerpen-cerpen yang ada di dalamnya secara keseluruhan.
Untuk desain sampul pada buku ini sendiri –melihat dari cerpen dengan judul yang sama, saya pikir ini cukup relevan. Saya suka dengan tone-nya yang mana cukup dapat menggambarkan dengan baik bagaimana judul dan isi ceritanya. Gambarnya yang seolah terlihat seperti dibuat dengan cara dilukis pun menurut saya mengisyarakatkan kesan yang sederhana, yang mana sangat sesuai dengan tema-tema cerita di dalamnya. Dan untuk kali ini, saya sangat suka dengan jenis huruf yang digunakan –baik pada judul maupun nama pengarang. Buat saya, penggunaan jenis huruf tersebut sudah cukup sangat sesuai untuk dijadikan “pengimbang”. Sebab, bisa dibayangkan apabila huruf yang digunakan terlalu tegas, maka yang ada nanti justru timbul kesan kaku. Dan lagi, untuk warna yang digunakan –warna putih, memberikan kesan hidup dan juga membuat sampul terlihat lebih berisi.
Nah, akhirnya selamat membaca!

Comments