[Book Review] Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya



37 Surat tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya




Judul : Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya

Penulis : Dewi Kharisma Michelia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
Tebal Halaman : 240 halaman
ISBN : 9789792296402


“... karena kehidupan yang penuh dan lengkap adalah soal hidup dan mati itu sendiri. Dan kalau ada sesuatu yang abadi kupikir itu adalah ilusi.” – halaman 236.



Speechless.

Satu-satunya kata yang terpikirkan setelah saya selesai membaca seluruh isi didalamnya. Sebenarnya, tak jauh berbeda dengan novel-novel yang sebelumnya saya baca, lagi-lagi novel yang sedang saya review ini merupakan novel yang menyuguhkan kisah cinta. Sebuah kisah cinta antara tokoh ‘aku’ si penulis surat dengan ‘alien’ si penerima surat –yang terlambat dikirim.

Yang menjadikannya berbeda dari novel yang biasa saya baca adalah pembingkaian cerita yang disuguhkan didalamnya. Dan satu lagi, tak ada kalimat-kalimat ‘cengeng’ di dalamnya. Sesuai dengan judulnya –Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, format penulisan cerita di dalamnya pun persis sama seperti layaknya ketika kita menulis surat pribadi. Di dalamnya tidak terdapat percakapan-percakapan langsung antar tokohnya –kecuali jika seperti pertanyaan tuan pemilik toko yang dilontarkan kepada si penulis surat dalam novel ini dihitung sebagai sebuah percakapan.



Entah, sudah berapa kali –yang jelas lebih dari sepuluh atau mungkin malah sudah lebih dari belasan kali, saya membuka kamus offline yang terdapat pada telepon seluler saya. Ada beberapa kata yang (jujur) tidak saya mengerti apa artinya –seperti denoument, bibliophile, solilokui, profan, dan beberapa lainnya lagi. Membaca novel ini membuat saya tiba-tiba menjadi merasa ‘miskin’ karena sadar betapa parahnya dan betapa sedikitnya kosakata yang saya miliki saat ini.

Secara keseluruhan –terlepas dari buruknya kosakata yang saya miliki sehingga agak menghambat saya untuk menikmati jalan ceritanya, saya jatuh cinta dengan 37 surat panjang tersebut. Hati saya ikut carut marut, tak keruan ketika membaca surat-surat itu. Ketika membaca cerita kenangan yang cukup menyenangkan ujung bibir saya tertarik keatas, membentuk sebuah senyuman. Dan begitu pula sebaliknya, tertarik kebawah ketika membaca cerita yang cukup miris. Ikut jengkel ketika cerita yang dituliskan Mbak Michel sampai kepada titik yang penuh ‘greget’.

Satu hal yang saya rasa kurang dari novel ini, sangat disayangkan karena kita hanya bisa mengetahui cerita dari satu sudut pandang saja –sudut pandang tokoh ‘aku’ si penulis surat. Kita tak mengetahui ceritanya dari sisi si penerima surat. Dan hal itu pulalah yang membuat saya cukup geregetan hingga agak jengkel tak kepalang. Ingin rasanya saya menemui si penerima surat itu untuk mengetahui cerita dari sudut pandangnya. Nah, mungkin ini juga yang bisa dilakukan oleh Mbak Michell untuk kedepannya, yakni membuat sequel novel ini yang ditulis dari sudut pandang si lelaki. Ya, itu hanya sekedar saran saja. Tapi, apabila benar direalisasikan maka saya tak perlu berpikir dua kali untuk segera berlari membelinya.


Cerita di novel ini ditutup dengan kata yang dibuat menggantung sehingga menimbulkan kesan bahwa ending yang dibuat cukup mengejutkan –setidaknya bagi saya. Namun, meski begitu kisah –serta pesan tersirat maupun tersurat, yang diuraikan di dalamnya tetap tersampaikan dengan baik kepada pembaca.


And the last, selamat membaca 37 kisah serunya!

Comments