[Book Review] The Royal Bread


Dandelion dan Sang Putri
Sumber: goodreads

Judul : The Royal Bread
Penulis : Eko
Penerbit : PING!!!
Tahun Terbit : 2014
Tebal halaman : 188 halaman
ISBN : 978-602-255-638-1

“Di saat aku diam dan justru menunggu masalah selesai dengan sendirinya, Vanessa justru mati-matian berusaha mencari jalan keluar. Sebenarnya siapa yang jadi putri di sini?” –halaman 119.

Seorang putri atau bangsawan biasanya lekat dengan image manja. Akan tetapi, tidak begitu dengan Vanessa –seorang keturunan kerajaan Inggris. Semenjak kepindahannya ke New York, terlebih ketika telah bertemu dengan Albert rasa-rasanya selalu saja ada masalah yang menimpa mereka berdua.
Semuanya bermula pada saat toko roti Albert akan disita karena ayahnya belum juga membayar hutang yang telah lama dipinjamnya. Singkatnya, kemudian munculah ide dari ibunya untuk mengajak Vanessa datang ke toko rotinya agar banyak wartawan yang meliput dan toko rotinya pun menjadi terkenal. Awalnya, memang Albert telah berhasil mengajak Vanessa untuk datang ke toko rotinya, setumpuk harapan pun datang dari keluarganya. Namun, di hari yang mana Vanessa seharusnya datang, semua harapan tersebut pupus sudah.

Albert pun merasa sangat kecewa. Ia enggan untuk menemui Vanessa keesokan harinya. Menyadari dirinya telah mengingkari janji, tepat di hari toko roti Albert akan disita, Vanessa pun datang dan membayar semua hutang ayah Albert. Mengetahui hal tersebut, Albert merasa serba salah. Di satu sisi ia merasa marah, namun juga merasa berterima kasih pada Vanessa. Lepas dari hal tersebut, kejadian-kejadian selanjutnya membuat mereka semakin dekat. Dan tanpa sadar telah muncul perasaan lain di antara keduanya, baik Albert maupun Vanessa.
Nah, Albert sendiri di sini digambarkan sebagai anak SMA yang terkesan cuek. Ia tak mau banyak ambil pusing dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Selain, Albert dan Vanessa, tokoh lain yang ada dalam cerita ini adalah Jack –teman dekat Albert yang merupakan salah satu pemain di tim basket, dan Seth –pemain football yang berperawakan kekar dan tampan namun berperilaku kurang baik. Ya, para tokoh yang ada di sini intinya di desain dengan sangat teenlit.
Novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama ini mengambil setting tempat di New York dan Inggris. Namun, lebih dominan di New York-nya. Anyway, menurut saya penggunaan latar ini sudah terlalu mainstream, mungkin akan lebih baik jika yang diambil adalah negara seperti Belgia, Swiss atau yang lainnya. Ya, meski memang harus diakui bahwa ini sebetulnya bukanlah suatu masalah.
Ada sedikit catatan dari saya pribadi untuk novel ini. Pertama, dari segi cover terlebih dahulu. Gambar pada sampul novel ini menggambarkan bahwa seakan setting tempat terjadi di London. Namun, ternyata seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya bahwa latar dominan berada di New York, sedangkan penggunaan latar Inggris di sini hanya dilakukan sebatas “tempelan” saja. Hal ini sebetulnya cukup disayangkan. Mengingat di mana biasanya orang pertama kali menanamkan kesan berdasarkan sampulnya. Namun, lepas dari hal tersebut, saya pribadi cukup menyukai desain sampulnya. Simpel dan cukup menarik, eye catching. Dan meski berwarna hitam, namun saya pikir itu tidak kemudian membuatnya terlihat kurang mencolok.
Selanjutnya, pada novel yang beralurkan maju ini lagi-lagi saya agak kecewa karena mendapati masih terdapat kata yang salah dalam penulisan. Pada halaman 57, katakan ditulis dengan katakana (ketambahan huruf “a”). Sepele sekali memang, namun kesalahan penulisan tersebut tak dipungkiri bahwa pada akhirnya akan membuat penilaian terhadap novel ini kurang memuaskan.
Kesan selanjutnya adalah dalam novel ini terlalu banyak adegan yang diulang, sehingga terkesan membosankan. Semisal adegan di mana Albert tiba dari di rumah, kemudian ia mandi terlebih dahulu, dan selanjutnya ikut makan malam di ruang makan bersama ayah dan ibunya. Sekali dua kali hal tersebut memang tak terlalu buruk untuk dituliskan berulang. Namun, dalam novel ini adegan tersebut dituliskan cukup banyak.

Kemudian, ada lagi hal yang janggal di sini. Di mana pada halaman 114 tertulis bahwa jarak antara lantai dan langit-langit rumah Vanessa adalah 70 meter. Itu sangat tidak masuk akal. Nah, kalau yang dimaksud sebenarnya 7 meter saya bisa memahami. Akan tetapi, 70 meter? Hmmm...
Overall, untuk saya cerita ini ditulis terlalu bertele-tele dan jatuhnya untuk ending terkesan terburu-buru. Terlalu dipaksakan. Terlebih pada bagian di mana Jack membuat sebuah pengakuan pada Albert. Menurut saya, itu tidak rasional. Kurang masuk akal. Akan tetapi, sejujurnya saya pribadi menilai bahwa ide cerita yang digunakan sebetulnya cukup menarik. Sangat khas dengan kisah-kisah anak remaja. Saya pikir jika para remaja yang membaca novel ini, mereka pasti tak ambil pusing menilai novel ini seperti saya.
Ah, ya satu lagi. Bagian yang paling saya suka pada novel ini –selain sampulnya, adalah desain halaman dalam. Desainnya menurut saya sangat manis. Sama menariknya dengan sampulnya. Jadi, mungkin itu saja kesan yang dapat saya berikan untuk novel ini.
Pada akhirnya, selamat membaca!

Comments