[Book Review] Pulang


 "Pulang", A Return and An Exodus
Sumber: goodreads

Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan ke- : V, September 2014
Jumlah Halaman : viii + 461 halaman
ISBN : 978-979-91-0515-8
“Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.” – Lintang Utara, halaman 197.

Sebelum saya membahas novel ini lebih dalam, ijinkan saya mengucapkan sepatah dua patah kalimat, “Mbak Leila, you’re rock. I love this novel so much.”
Ya, dari segala macam novel yang pernah saya baca, Pulang adalah novel terfavorit saya. I don’t know, I just.....speechless. Rasanya seperti tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan betapa favoritnya novel ini untuk saya. Maaf, saya tahu, ini terlalu hiperbolis.

Nah, kembali pada pembahasan utama. Seorang Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengatakan bahwa kata “pulang” dari novel ini –yang mana juga menjadi judul, dapat diartikan sebagai “a return” maupun “an exodus”. A return –pulang dalam artian sebenarnya, yang mana dikehendaki oleh Dimas Suryo, dan an exodus –sebuah petualangan atas tanah yang sama sekali belum dimengerti, bagi Lintang Utara. Dan saya pribadi, tentu sangat setuju dengan pendapat tersebut. Saya pikir pendapat yang diungkapkan oleh Robertus Robet ini cukup dapat menggambarkan mengenai isi dari novel ini sendiri.
Nah, kalau boleh saya bilang –lepas dari betapa kompleksnya konflik dalam cerita ini, tema yang diambil oleh penulis untuk novel ini sendiri terbilang cukup menarik, yakni kisah cinta yang dibungkus dengan isu politik. Kisah cinta antara Dimas Suryo – Surti Anandari – Vivienne Deveraux, Lintang Utara – Narayana Lafebvre – Segara Alam, dan beberapa tokoh lainnya yang kisahnya tak kalah rumit. Ah, saya rasa saya tak perlu menuliskan sinopsis ceritanya. Blurb novel ini sudah menjelaskan semuanya. Jika perlu, tak usahlah pula kalian baca blurb-nya. Trust me, cerita di dalamnya sama sekali tidak mengecewakan. Pokoknya singkatnya begini, bahwa novel yang mengambil latar tempat di Indonesia dan Perancis ini berkisah mengenai kehidupan Dimas Suryo dan juga teman-temannya yang “ditolak” oleh negaranya sendiri. Dan seperti pada kutipan yang saya tuliskan diawal, dan meskipun ditolak dia tetap akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka. Sudah bisa membayangkan betapa berat perjuangan yang harus dilaluinya, bukan?
Honestly, saya sangat suka dengan konflik-konflik yang ada di dalamnya. Terkesan rumit dan juga sederhana secara bersamaan. Sudah begitu, kesan memikatnya tetap ada pula. Semua dituliskan dengan sangat detail. Penggambaran suasana chaos yang terjadi padah tahun 1965 –tragedi G 30 S PKI, 1968 –unjuk rasa terbesar di Perancis, dan 1998 –kerusuhan terbesar dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun, tergambarkan dengan sangat jelas. Tidak setengah-setengah, sehingga seakan pembaca juga dihadapkan dan diseret masuk ke dalam ke-chaos-an kala itu.
Meski memang ada beberapa part yang ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun, secara keseluruhan novel ini cenderung lebih banyak ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama melalui kacamata Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, dan Bimo Nugroho. Dan buat saya ini menjadi poin plus tambahan bagi novel ini. Selain itu pula, meski ditulis dengan alur yang maju-mundur serta banyak terdapat selipan fragmen-fragmen cerita dalam bentuk surat, namun pembaca di sini tetap akan dengan mudah dapat mengetahui jalannya alur, kok. Menurut saya alurnya tergambarkan dengan sangat jelas dan tidak membingungkan.
Di samping itu, saya juga sangat suka dengan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis. Lugas. Tidak sok “muluk”, sangat mudah dipahami. Nah, walaupun sebetulnya cerita ini secara keseluruh berkisah mengenai kemuraman nasib eksil politik dan para korban tragedi 1965, namun kita tetap akan menjumpai bagian yang menyenangkan dan bahkan juga lucu. Seperti misalnya saat Nugroho “mengejar-ngejar” Dimas agar mau untuk di terapi akupuntur olehnya atau saat Andini mengucapkan “O My God” berulang-ulang di depan Rama, kakaknya, hingga membuatnya jengkel.
Ya, kalau boleh saya katakan emosi yang dituliskan dalam novel ini dapat tersampaikan kepada para pembaca –terutama saya, dengan sangat baik. Saat menjumpai bagian yang lucu, saya tertawa kecil. Di bagian yang manis, ujung bibir saya tertarik membentuk senyum. Pada bagian yang muram, rahang saya kelu. Lalu, pada bagian yang paling menyedihkan air mata saya tak bisa lagi saya tahan –terlebih di bagian akhir cerita. Ya, saya pun ikut merasakan betapa perihnya keadaan yang dialami oleh Dimas dan kawan-kawannya.
Ah, ya dan lagi-lagi –ini sedikit menyebalkan bagi saya. Bahwa ending cerita kembali diserahkan pada interpretasi para pembaca. Tapi, kalau saya boleh menentukan akhir cerita –untuk saya sendiri, maka akan saya tuliskan jika Lintang Utara lebih memilih Segara Alam. Bagi saya penggambaran Lintang dengan Alam di sini lebih menarik ketimbang jika Lintang bersama Nara. Menurut saya, Nara –meski baik dan begitu sempurna untuk dideskripsikan, adalah sosok yang too-good-to-be-true dan kurang cocok dengan kepribadian Lintang yang ekspresif. Ah, sudahlah.
Lepas dari itu semua, saya tahu, novel ini sendiri merupakan kisah fiksi. Namun, seusai saya membacanya kini saya semakin yakin, bahwa memang sejarah Indonesia ini sedikit banyak ternyata “dipelintir”. Sejarah yang selama ini diketahui oleh kita, yang diajarkan mulai dari bangku SD sampai dengan SMA adalah sejarah yang “diakui” oleh pemerintah. Ah, atau mungkin lebih halusnya dapat dikatakan bahwa selama ini kita hanya mengetahuinya dari satu sisi saja. Satu versi saja.
Hmmm... sudahlah. Lelah rasanya jika memikirkan berbagai kemungkinan terkait hal tersebut. Dan lagi, tidak tepat pula jika dibahas dalam tulisan ini. Uh! Nah, untuk yang terakhir saja, sebelum saya mengakhiri tulisan ini, ijinkan untuk saya membuat pengakuan (lagi) bahwa saya jatuh cinta dengan salah satu tokoh fiktif di dalam cerita ini. Saya jatuh cinta dengan Segara Alam. O, Mon Dieu.
Dan akhirnya, selamat membaca!


*)tulisan ini termuat pula dalam portal berita tersapa.

Comments