[Book Review] Pasung Jiwa


Jiwa dan Pikiran yang Terkungkung
Sumber: goodreads

Judul : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
Jumlah Halaman : 328 halaman
ISBN : 978-979-22-9669-3
“Pikiran kerap hanya terbangun oleh tempelan-tempelan yang kita ambil atau dipaksa masuk oleh sekitar kita. Sementara tubuh selalu diperlakukan sebagai pengikut pikiran. Ia tak hadir dengan kewenangan. Maka ketika tubuh bergerak sendiri, lepas dari pikiran, selalu dianggap sebagai pembangkangan .... Bisa karena kesurupan atau karena ketidakwarasan.” – halaman 138

Ada dua hal penting yang didapatkan setelah membaca novel ini. Pertama, tentang arti dari kebebasan itu sendiri. Kenyataan bahwa kehendak bebas itu tidak benar-benar murni adanya. Kenyataan bahwa hingga kapanpun kita tidak akan pernah memperoleh kebebasan yang sejati. Bahkan ketika sudah tiada nanti. Kedua, tentang kasih sayang seorang ibu yang mana tak akan pernah habis. Tak peduli bahwa si anak telah mengecewakan hatinya sedemikian rupa. Tak peduli resiko apa yang akan dihadapinya. Kasih sayangnya akan terus ada, bahkan ketika ia sendiri telah tiada.
Melalui dua tokoh utama dalam novel ini, yakni Sasana dan Jaka Wani, kita akan melihat bahwa kehidupan kita selama ini –yang kita anggap bebas, sebetulnya tak benar-benar ada. Manusia akan terus mengalami “keterkungkungan” dalam hidupnya. Hanya saja, terkadang kita tak menyadarinya. Dan bahkan pada beberapa manusia, ada yang memilih untuk tidak mau menyadarinya sekalian. Keterkungkungan ini bisa berasal dari tubuh dan pikiran, tradisi dan keluarga, nilai dan norma serta agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.

Sasana di sini digambarkan memiliki dua kepribadian, yakni sosok Sasana itu sendiri dan Sasa sang biduan. Sedari kecil ia merasa bahwa dirinya merasa tak bebas. Mulai dari ia diarahkan untuk bermain piano, dilarang melihat dan mendengarkan musik dangdut, dimasukkan sekolah khusus laki-laki ketika menginjak bangku SMA, hingga saat ia tidak diterima oleh sang ayah karena dianggap tidak waras.
Sedangkan, Jaka Wani. Tak seperti namanya, ia adalah seorang lelaki yang tidak berani mengambil resiko. Ia lebih memilih untuk “bersembunyi” dibanding menghadapi. Hingga pada akhirnya, semua yang ia hindari tersebut selalu datang menghantuinya. Membuatnya tak tenang. Poin yang sama dari kedua tokoh tersebut adalah bahwa mereka berdua sama-sama mencari “ketenangan” tersebut. Di mana ketenangan tersebut tak perlu membuat mereka menjadi orang lain. Cukup dengan menjadi apa adanya saja, sesuai dengan keinginan pikiran dan tubuh mereka.
Lepas dari itu, untuk permainan alur pada novel ini sendiri terbilang rapi. Begitu pula dengan konfliknya. Akan banyak kita jumpai penggambaran-penggambaran dari bentuk keterkungkungan tersebut yang mana merupakan bagian kesatuan dari konflik cerita. Diksi yang digunakan menurut saya pun juga tak ada masalah. Semuanya mengalir dengan cukup rapi.
Kemudian, untuk masalah gambar dan tata letak sampulnya sendiri menurut saya tidak ada masalah. Saya suka sekali dengan tone dan gambar sampulnya. Selain menarik, bagi saya bagian tersebut sangat representatif dengan isi cerita di dalamnya. Tata letaknya juga tidak berlebihan, tidak juga menunjukkan kesan serius. Terbilang cukup biasa saja, tapi di sisi lain justru menimbulkan kesan elegan. Ah, ya dan belakangan –ketika saya menulis tulisan ini, saya baru tersadar, tidakkah sosok yang ada pada sampul tersebut merupakan Sasa?
Jadi, selamat membaca!

Comments