[Book Review] Maya: And the Darkness Surrounding


Benarkah Raga tak Harus Selalu Bersama Jiwa?
Sumber: goodreads

Judul : Maya: And the Darkness Surrounding
Penulis : Arikho Ginshu
Penerbit : PING!!!
Tahun terbit : Agustus 2014
Jumlah halaman : 296 halaman
ISBN :978-602-255-619-0
“Raga tak harus selalu bersama jiwa. Ingat itu, Anak Muda!” – halaman 5.

Cerita ini bermula dari empat orang sahabat yang sedang berpetualang ke Gunung Kerinci. Bagi mereka –Tondi si atlet paralayang; Damar yang paling ‘santai’ diantara mereka; Rimba yang pemalu dan kerap menjadi sasaran kejahilan Binar; dan Binar Saga sendiri yang periang, berpetualang menjelajah alam bersama bukanlah suatu hal baru lagi. Pendakian kali ini telah mereka rencanakan sejak setahun yang lalu. Telah mereka persiapkan segalanya dengan sangat matang. Sebab, perjalanan kali ini merupakan perjalanan pertama mereka ke Pulau Sumatra dan akan membutuhkan waktu hampir satu minggu nantinya.
Singkat cerita, tak ada masalah yang berarti sama sekali selama pendakian yang mereka lakukan, hingga akhirnya datanglah kejadian yang sangat tak diingingkan. Lepas tengah malam ketika semuanya tengah tertidur pulas, Rimba pun terbangun dan sangat terkejut mendapati tubuh Binar yang berada di luar tenda dengan kondisi tak sadarkan diri lagi. Tak pikir lama, mereka pun menandu tubuh Binar menuju ke Pos TNKS.
Lebih belasan jam lamanya Binar masih juga tak sadarkan diri. Padahal dari segi kesehatan kondisinya dinyatakan baik-baik saja. Hingga pada akhirnya seorang penduduk di sana membawa mereka untuk menemui Ki Rangkat. Pertemuan mereka dengan Ki Rangkat kemudian membawa salah satu dari mereka –Tondi, dalam sebuah ‘petualangan’ di dunia yang berbeda. Demi Binar, Tondi pun akhirnya rela melakukan sebuah perjalanan melintasi waktu yang mempertemukannya dengan Amorza dan Arzoda di tempat dimana suku Maya berada, Chichen Itza. Kejadian tersebut kemudian mengubah banyak hal diantara mereka, terlebih bagi Tondi sendiri. Tak hanya sekedar persoalan nyawa, namun juga persabahatan dan masalah hati.

Masalah yang disajikan dalam novel ini sebetulnya sama dengan kebanyakan novel lainnya, yakni persahabatan dan hati. Namun, tema yang diangkat pada novel inilah yang membuat cerita ini menjadi berbeda. Hal-hal yang berbau astral menjadi ‘warna’ utama yang disuguhkan oleh Penulis. Poin plus lainnya –selain tema tentunya, terletak pada ending cerita yang mungkin bagi beberapa orang akan terjebak dengan perkiraannya sendiri. Dan satu lagi, saya suka dengan gaya bahasa pada narasi cerita ini.
Dari segi penceritaan sendiri, novel ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama melalui ‘kacamata’ Tondi dan Amorza. Sedang untuk penokohan, cukup banyak tokoh yang dilibatkan dalam cerita ini. Namun, menurut saya tokoh sentral ada pada Tondi dan Amorza, dua tokoh utama yang mewakili tokoh lainnya dari dunia yang berbeda. Tondi digambarkan sebagai seorang pemuda atletis yang mana gemar akan menjelajah alam, sedang Amorza adalah salah ‘seorang’ Yang-Di-Sucikan di bangsanya. Bagi Tondi, Amorza merupakan wanita cantik yang sangat misterius.
Mengenai konflik pada cerita yang beralurkan maju mundur ini, pengeksekusian yang benar-benar ‘hidup’ baru saya temui di akhir cerita. Eksekusi konflik yang dibangun pada bagian tersebut cukup dapat membangunkan emosi pembaca. Yang menjadi catatan kecil dari saya di sini adalah peralihan alur pada saat mereka ke Gunung Rinjani dari alur sebelumnya, di bagian tersebut saya merasa perpindahannya terlalu terburu-buru. Meski sebetulnya perpindahan alur yang saya rasa terburu-buru itu bukanlah suatu masalah.
Kemudian, catatan lainnya adalah pada kesalahan penulisan nama Arzoda yang ditulis menjadi Ramoda (hal. 177). Padahal jelas sekali pada saat itu Amorza digambarkan tengah berdialog dengan Arzoda –saudara kembarnya. Selanjutnya untuk masalah teknis, (saya menduga hal ini terjadi pada saat percetakan) adalah beberapa halaman (dapat ditemui di halaman 23-26) margin atasnya terlalu mepet. Meski, sebetulnya untuk saya sendiri hal tersebut bukanlah suatu masalah.
Catatan terakhir ada pada design halaman dan cover. Sampul buku di sini memang telah cukup merepresentasikan isi cerita di dalamnya. Namun, bagi saya sendiri gambar yang ada pada sampul terlalu ‘penuh’ dan hanya menyisakan sedikit sekali ruang untuk ‘bernafas’. Sedangkan, untuk design halaman saya pikir akan lebih baik jika dibuat polos saja, dan apabila memang dirasa perlu untuk memberikan design halaman yang bergambar mungkin akan lebih baik jika hanya ditempatkan pada setiap permulaan bab saja.
Dan akhirnya, selamat membaca!

Comments