[Book Review] Hei, Pacar!


Karena Cinta adalah “Perselisihan”

Sumber: yes24

Judul : Hei, Pacar!
Penulis : Musdalifah
Penerbit : Mazola
Tahun Terbit : 2015
Jumlah Halaman : 208 halaman
ISBN : 978-602-7695-98-6


“Karena cinta nggak pernah nuntut agar pasangannya menjadi ini dan itu. Apa adanya aja. Bayangin kalau ada gengsi di dalamnya? Apa lo bisa menjamin cinta itu bertahan? Nggak! Udah, nggak usah gengsi!” – halaman 21.


Ya, pada awalnya Dissa merasa gengsi untuk mengakui perasaannya terhadap Shaka Adi Putra, si cowok berkulit coklat dengan rambut cepak yang aneh –di mata Dissa, dan super cuek. Akan tetapi, tepat seperti kutipan di atas, setelah Dissa menceritakan apa yang dirasakannya terhadap Shaka kepada Nina –sahabatnya di sekolah, ia pun kemudian berusaha menghilangkan rasa gengsi tersebut. Coba tebak, apa yang terjadi selanjutnya? Ya, sehari setelah itu Dissa pun mengutarakan perasaannya kepada Shaka.

Singkatnya, setelah melewati masa-masa yang membuat Dissa murung, mereka pun akhirnya resmi berpacaran. Yang perlu diketahui di sini adalah bahwa di mata teman-teman sekolahnya Dissa dan Shaka adalah pasangan yang aneh. Kerjaan mereka setiap harinya selalu saja ribut. Meributkan segala hal, baik dari hal penting sampai ke hal yang paling sepele. Namun, tanpa disadari kebiasaan ribut merekalah yang justru berperan sebagai pengikat hati keduanya.

Ah, ya! Untuk perwatakan, Dissa sendiri digambarkan sebagai seorang remaja dengan wajah oval dan beralis tebal yang super cerewet dan manja. Nah, sekarang bisa kalian bayangkan bukan bagaimana bentuk jalinan hubungan spesial di antara mahluk yang super cerewet dan super cuek?

Namun, tentu saja konflik yang ada tak hanya berputar pada keributan-keributan yang diciptakan oleh kedua tokoh utama. Konflik semakin memuncak saat Fauzan –murid pindahan dari Malaysia, bersekolah di sekolah yang sama dengan Dissa dan Shaka. Fauzan yang berperawakan tinggi, putih, memiliki lesung di pipi kanan, dan berambut coklat seketika berhasil membuat para remaja perempuan di sekolah tersebut jatuh hati. Tak terkecuali Dissa sendiri.

Nah, penciptaan perpaduan karakter –antara Dissa dan Shaka, yang unik di sini menurut saya merupakan salah satu poin plus yang ada pada novel ini. Saya pribadi menyukai pembentukan karakter Shaka. Menurut saya, penciptaan karakter Shaka di sini tergambarkan dengan “berbeda”. Intinya, cukup kuat.

Secara keseluruhan apa yang dijual dalam novel ini lebih cenderung kepada “prosesnya” menuju akhir cerita. Sebab, kalau masalah ending, saya pikir mayoritas pembaca akan bisa menebak bahwa ending ceritanya memiliki akhir yang bahagia. Dan harus pula saya akui bahwa akhir ceritanya dieksekusi oleh penulis dengan cukup manis.

Poin plus lainnya, untuk segi teknis, saya tak mendapati adanya kesalahan penulisan dalam novel ini. Sementara itu, untuk segi sampul, menurut saya dilihat dari segi warna sampulnya cukup mencolok meski tak menggunakan warna yang mentereng. Meski juga terbilang sederhana, namun kalau dicermati lebih seksama sebetulnya sampulnya cukup lucu. Hanya saja, yang saya sayangkan di sini adalah mengapa gambar utama pada sampulnya “hanya” dua pasang kaos berwarna merah jambu dan hitam? Saya pikir untuk gambar sampul ini bisa dieksplorasi lebih jauh lagi. Ah, tapi ya sudahlah. Bukan masalah besar kok.

Kesimpulannya hanya satu. Cerita dalam novel ini sangat khas dengan kehidupan para remaja. Saya rasa, salah satu aspek kehidupan remaja saat ini –dalam hal perpacaran, sedikit banyak cukup terepresentasikan dalam novel ini.


Dan akhirnya, selamat membaca!

Comments