[Book Review] Haseki Sultan


Cleopatra, Impian yang Mewujud menjadi Nyata
Sumber: goodreads

Judul : Haseki Sultan
Penulis : Zhaenal Fanani
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : Oktober 2014
Jumlah Halaman : 480 halaman
ISBN : 978-602-296-036-2

“Kalau tidak mau jadi biarawati, kau mau jadi apa?”

“Cleopatra.”
“Apa yang akan kau lakukan untuk menjadi Cleopatra?”
“Apapun, seperti yang sering Ayah ceritakan.”
“Tapi tidak mudah untuk menjadi Cleopatra.”

Menjadi Cleopatra sendiri merupakan impian seorang gadis bernama Alexandra Anastasia Lisowska sedari kecil. Gadis cantik, berambut tebal berkilat, bermata hitam kebiruan dengan warna kulit yang keperakan. Seorang gadis dari Rohatyn –sebelah barat Ukraina, yang banyak akal dan selalu ingin tahu. Namun, persis seperti apa yang diucapkan Ayahnya –seorang pendeta ortodoks, bahwa ternyata jalannya untuk menjadi Cleopatra sungguhlah tak mudah.
Cerita dalam novel ini sendiri berawal dari saat di mana Alexa diculik oleh segerombolan lelaki untuk dijual sebagai budak. Penculikan tersebut terjadi saat ia tengah melamun di dalam rumahnya, meratapi kesendiriannya karena ayahnya telah tiada. Malangnya, meski telah berusaha melarikan diri namun nyatanya ia tetap tertangkap oleh para penculik tersebut. Pada saat itu juga, dalam kepasrahan hanya ketakutan yang dapat ia rasakan.

Dikarenakan kecantikannya yang luar biasa dan lagi ia masih suci, pada hari selanjutnya, saat dibawa ke pasar budak, ia diperjualkan kepada pihak Istana Topkapi. Awalnya, ia girang karena merasa dengan dijualnya ia kepada pihak istana setidaknya keselamatannya akan lebih terjamin –meski harus menjadi budak. Dalam perjalanan menju ke istana, ia pun banyak berbincang dengan salah seorang kasim yang membawanya dari pasar budak.
Namun, tak seperti yang ia bayangkan. Dalam obrolannya tersebut, ia mendapati bahwa ternyata di istana, ia tidak dijadikan sebagai budak. Melainkan untuk “dipersembahkan” kepada Sultan. Akan tetapi, pada akhirnya ia menerima dengan senang hati kenyataan tersebut. Sebab, bersamaan dengan itu ia pun menyadari menyadari bahwa kedatangannya ke Istana Topkapi dapat mewujudkan impiannya untuk menjadi Cleopatra. Maka, tak ia sia-siakan kesempatan tersebut. Dengan membawa seluruh mimpinya ia pun mempersembahkan dirinya kepada sang Sultan.
***
Di sisi lain, hingga saat ini Sultan Sulayman hanya memiliki seorang putra saja. Seorang putra mahkota yang kelak akan mewarisi tahtanya. Namun, satu anak lelaki saja ternyata tidaklah cukup. Sebab, jika kelak terjadi sesuatu dengan satu-satunya putra mahkota tersebut, maka akan terjadilah kekosongan kekuasaan.
Lepas dari itu, dunia harem adalah dunia persaingan. Tempat tersebut memang sengaja dibangun sebagai wadah, pajangan para perempuan cantik, sekaligus tempat menyemai para pewaris tahta. Tak hanya belasan atau puluhan, di dalamnya terdapat ratusan gadis cantik yang menunggu datangnya kesempatan untuk menghangatkan peraduan Sultan. Maka dari itu, tak mengherankan jika di dalamnya banyak sekali intrik-intrik gelap, persaingan tak sehat dan konspirasi yang hitam.
Dengan segenap kecerdikannya, sang gadis dari Rohatyn tersebut pun akhirnya dapat memperoleh impiannya. Berbeda dengan kebanyakan para selir sultan lainnya –yang menggunakan cara-cara kotor untuk menjadi haseki sultan. Sang gadis tersebut, tak menggunakan jalur “hitam”, semua ia lakukan murni dengan kecerdikan yang ia miliki.
Dari sinilah kemudian sumber segala konflik mulai bermunculan. Sebuah masalah yang tadinya hanya sebesar biji sawi, pada akhirnya berubah menjadi sebuah gelombang pergulatan yang bahkan lebih besar daripada ombak terganas Selat Bosporus.
***
Menarik. Itulah kesan yang muncul seusai saya membaca novel ini, jika ditilik dari segi tema. Novel yang dituliskan dengan sudut pandang orang ketiga ini juga memiliki penggambaran akan latar tempat yang tidak terkesan dibuat-buat. Saya pikir penulis di sini pastinya telah melakukan riset yang mendalam. Dengan mengambil latar belakang kehidupan pada abad ke-16, saya pikir nilai plus yang pertama –yang dapat diambil, dari novel ini adalah bahwa tidak hanya hiburan yang akan kita peroleh. Namun, juga sedikit banyak soal sejarah dan budaya kerajaan yang berlaku pada abad 16 tersebut.
Secara keseluruhan, alur yang terdapat di dalamnya merupakan alur progresif. Namun, jalannya cerita sendiri bukan berarti datar, sebab di dalamnya cukup banyak terdapat nukilan-nukilan cerita dengan alur flasback. Dan lagi, konfliknya yang sangat amat menarik –sekaligus rumit, semakin menegaskan bahwa cerita di dalamnya jauh dari kata  membosankan –setidaknya untuk saya.
Untuk karakter pada setiap tokohnya sendiri –Kiral Berk, Mahidevran Gulbahar, Samiye, Aysel Zge, Ugur Yildrim, Ibrahim Pasha, dll terbilang cukup kuat. Dan meski memang setiap tokohnya tidak selalu memiliki porsi yang sama –dalam hal ini adalah masalah kuantitas kemunculan, namun masing-masing tokoh tersebut –figuran sekalipun, tetapi memiliki peran yang mencolok dan tidak dapat tergantikan. Sebab kembali lagi –seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya, bahwa konflik-konflik yang terdapat di dalamnya ternyata cukup pelik dan berkenaan dengan itu, masing-masing tokohnya memegang “kunci” atas kepelikan tersebut.
Melihat dari berbagai intrik yang bermunculan itu pula, maka –menurut saya, dapat dikatakan bahwa tempo yang dimainkan oleh penulis pun terbilang pas. Tidak terkesan terburu-buru ataupun sebaliknya. Kemudian, untuk soal apa yang ada di “halaman terakhir”, kita bisa jadi telah mengetahuinya sebelum selesai membaca keseluruhannya. Namun, soal apa yang ada di “halaman sebaliknya” dari halaman yang tengah kita baca, saya pikir belum tentu akan selalu bisa kita tebak. Sebab banyak sekali “kejutan” di dalamnya.
Masuk ke segi teknis, sejujurnya kalau saya pribadi kurang suka dengan tone yang digunakan pada sampulnya. Buat saya terlalu penuh warna gelap. Akan tetapi, jika ditilik dari segi ceritanya pemilihan warna tersebut terbilang sangat relevan. Dominasi warna hitam tersebut mampu menggambarkan betapa “hitamnya” konflik di dalamnya. Lalu, jika untuk desain gambarnya sendiri, saya tidak ada masalah, buat saya itu cukup representatif. Penggunaan jenis huruf untuk judulnya pun tidak berlebihan. Kalau saya lihat, pemilihan warna pada huruf judul novel terbilang cukup sesuai. Penggunaan warna cerah di sini dapat dibilang mencerminkan masa depan dari sang tokoh utama. Dan lagi, seolah seperti menasihati –tanpa menggurui, kita bahwa kegelapan hanya bisa kita tembus dengan cahaya terang. Jika, dihubungkan dengan konteks novel ini, maka dapat dikaitkan bahwa untuk meraih impian tak seharusnya dilakukan melalui cari yang “kotor dan gelap”, melainkan dengan usaha dan berdoa, serta percaya pada keajaiban.
Akhirnya, selamat membaca!

Comments