[Book Review] Amba


Merah, antara Darah dan Gairah

Sumber: goodreads
Judul : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke- : 4 (edisi baru), Oktober 2013
Jumlah Halaman : 577 halaman
ISBN : 978-979-22-9984-7

“... Bertahun-tahun aku menunggu, nggak pernah paham mengapa ia menghilang, tak pernah paham apa yang terjadi pada Bhisma, atau bagaimana ia sampai ke pulau ini, atau apakah ia masih hidup, dan kalau ia mati bagaimana ia mati, mengapa dia nggak kembali ke aku ketika ia punya kesempatan tahun ’79, mengapa selama 41 tahun aku menunggu dan mencintai hantu.” – halaman 455.

Ya, saya rasa kutipan di atas sedikit banyak telah menggambarkan inti cerita novel ini. dengan mengambil latar belakang sejarah, novel ini mengisahkan cerita cinta dan hidup seorang Amba Kinanti. Amba yang merupakan anak sulung dari seorang guru di Kadipura –sebuah kota kecil di Jawa tengah. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua. Anak perempuan yang keras kepala, mandiri, berkemauan sendiri dan tak jarang pula memesona.
Cerita dituliskan dengan alur yang maju-mundur. Namun, pembaca tak perlu khawatir sebab, permainan alurnya sama sekali tidak membingungkan. Kisahnya dimulai dari tahun 2006, di mana Amba dengan seorang laki-laki, Zulfikar Hamsa –yang mana merupakan sahabat Bhisma saat berada di Buru, pergi ke Pulau Buru. Ia berangkat ke sana tak lain adalah untuk mencari orang yang dikasihinya, cintanya yang terdalam, yang memberinya seorang anak perempuan di luar nikah –yang kemudian diberi nama Srikandi.

Laki-laki yang dikasihinya tersebut, seseorang yang merupakan cinta terdalamnya itu adalah Bhisma Rashad –yang berperawakan jangkung dan tampan, seorang dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang dikarenakan ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Singkatnya –seperti yang saya kutip pada blurb, ketika kamp tahanan politik tersebut dibubarkan dan para tapol pada akhirnya dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.

Awal perjumpaannya dengan Bhisma sendiri datang saat ia memutuskan untuk pergi ke Kediri. Malangnya, percintaan mereka terputus dengan begitu saja, dengan begitu tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan di Ureca, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru kemudian, pada kunjungannya di tahun 2006, Amba tahun kenapa Bhisma tak kembali.


Sebelumnya, maaf karena saya menuliskan sinopsis cerita di sini kurang lebih sama dengan apa yang tertera pada blurb. Bukan sebab saya malas menuliskan sinopsis cerita berdasar versi saya sendiri. Hanya saja saya takut, kalau dengan menuliskan versi milik saya justru akan “menodai” cerita di dalamnya. Maka dari itu, saya putuskan akan lebih aman jika saya mengikuti blurb-nya saja dengan sedikit menambahkan detail-detail kecil –seperti penokohan, dalam tulisan ini.

Ah, lega dan penuh haru saya rasakan secara bersamaan seusai saya membaca habis novel ini. Dan harus pula saya katakan, bahwa Amba adalah novel favorit saya –selain Pulang milik Leila Chudori. Dan ijinkan saya mengutip pernyataan Profesor Saskia Wieringa dari The Jakarta Globe, bahwa Laksmi Pamuntjak mengukuhkan dengan tegas dirinya sebagai salah satu penulis sejarah Indonesia terfasih.

Jujur saya nggak sanggup berkata-kata lagi sampai pada akhirnya harus “meminjam” kalimat orang lain. Saya harus berkomentar tentang apa? Narasinya? Ah, tentu, sangat enak untuk dibaca. Penokohannya? Karakter tiap tokohnya –Samuel Lawerissa, Adalhard Eilers, Manalisa, Salwani Munir dll, dibuat sedemikian kuatnya. Kemunculan dari masing-masing tokohnya pun dibuat sedemikian mulus, benar-benar rapi. Lalu, tentang emosi. Ah, jangan lagi ditanyakan tentang hal yang satu itu. Tentu saja, tentu tak perlu diragukan lagi bahwa emosi yang coba untuk disampaikan kepada para pembaca begitu mengena –saya pribadi sampai berkaca-kaca dibuatnya. Betapa penggambaran akan “masa itu” begitu kuatnya, begitu riilnya –dalam artian seolah saya mengalaminya sendiri.

Poin plus lainnya, yang tak bisa diabaikan, dari novel ini adalah bahwa biasanya seorang penulis akan lebih condong ke salah satu arah saja –dalam hal ini bisa mungkin latarnya atau kisah cintanya. Namun tidak dengan novel ini, porsi antara keduanya sama besar. Ya mengenai kisah sejarahnya –yang kental, maupun kisah cinta Amba –yang rumit.

Sekilas, nampak luar ide cerita yang diusung mungkin terlihat sederhana. Kisah cinta sepasang manusia yang terpisahkan oleh nasib dengan latar belakang Orde Baru. Namun, harus kalian tahu bahwa dibalik kelihatannya yang nampak sederhana tersebut di dalamnya banyak tersimpan beragam kerumitan. Detail yang sangat rumit. Yang bagusnya dapat disampaikan oleh sang penulis dengan cara yang jauh dari kata rumit.

Ya –kalau saya boleh bilang, karya ini terbilang sederhana dan rumit secara bersamaan.
Lepas dari itu, harus saya akui bahwa ada beberapa part yang menurut saya temponya berjalan cukup lambat. Tapi, secara keseluruhan –pada bagian tersebut, tidak ada kesan yang menjemukan. Hanya sekedar terasa lama saja, karena banyak detail yang diberikan.

Kemudian, untuk masalah teknis. Ah, ya sebelumnya mungkin ada diantara kalian yang bertanya mengapa saya memberi judul untuk tulisan ini “Merah, antara Darah dan Gairah”. Sebetulnya saya kehabisan ide untuk memberikan judul yang tepat untuk tulisan ini –jika bisa dibilang sebuah tulisan. Maka, hal pertama yang saya lihat adalah sampul bukunya yang berwarna merah.

Dalam sebuah sumber yang saya lihat di suatu lama internet, merah memiliki makna gairah dan memberikan energi serta menyerukan terlaksananya suatu tindakan. Di sisi lain, merah juga identik dengan kecemasan serta kekerasan. Masih dari situs yang saya lihat tersebut, disebutkan pula bahwa untuk menjaga keseimbangannya warna merah baik dipadukan dengan warna biru muda.

Nah, novel ini sendiri (sebetulnya) berbicara mengenai gairah –antara Amba dan Bhisma, dalam lingkup sempit maupun lebih luas. Berbicara tentang energi –yang bisa merujuk pada apa saja. Dan juga bercerita soal darah, soal kekerasan –terlebih yang meliputi fisik maupun psikis, serta soal kecemasan. Darah, Luka, dan –sekali lagi dibalik keduanya terdapat, gairah.

Nah, kalau kalian ingat pula –bagi yang sudah membaca, untuk poin terakhir –merah baik dipadukan dengan warna biru muda, dalam novel ini juga disebutkan mengenai warna biru “yang-sering-muncul” pada diri Bhisma. Jadi, saya rasa jika dihubungkan antara warna sampul dan isi novel ini, maka dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa pemilihan warna merah di sini sangatlah representatif. Meski harus saya akui bahwa untuk desain gambarnya –pada cetakan edisi baru ini, saya masih belum bisa memahami apa maksudnya.

Sedangkan, untuk jenis huruf yang dipilih untuk judul, saya pikir jika ditujukan sebagai “penyeimbang” –entah dalam artian apa silakan diartikan menurut interpretasi masing-masing, saya pikir tujuan tersebut sudah tercapai. Sebab, volume huruf yang “ramping” di sini seakan menandakan bahwa ada “keringanan” dibalik segala beban yang dipikul Amba selama ini.

Ah, saya rasa tulisan ini makin racau saja. Dan lagi sepertinya ulasan kali ini sudah terlalu panjang, maka rasanya saya cukupkan sekian saja. Akhirnya, selamat membaca!



*) Tulisan ini juga dimuat dalam portal berita Tersapa.

Comments