2016 penuh dengan hal-hal
yang tak terduga, mulai dari yang paling membahagiakan, menyedihkan,
mengesalkan, menakutkan, hingga menjijikan. Semuanya tumpah ruah.
Sampai-sampai, terkadang saya hampir merasa tak kuasa untuk menanggung segala
jenis emosi yang menghampiri. Akibatnya, dalam beberapa hal saya pun menjadi
lebih emosional. Berteriak kegirangan. Menangis tersedu-sedu. Marah kepada
pihak-pihak yang tidak bersalah. Trauma terhadap beberapa hal. Dan masih banyak
lainnya.
Lepas dari itu, seperti yang
tertulis pada judul, tahun ini saya banyak bermain api. Bahkan tak jarang,
justru sayalah yang menjadi apinya. Di awal, nyalanya redup saja. Kecil. Namun,
lama-lama nyalanya makin membesar. Kemudian membakar. Bahkan, sempat
menghanguskan diri saya sendiri beberapa kali. Sakit, tentu saja.
Apakah saya menyesal? Jelas untuk beberapa kasus saya memang menyesal –meski kemudian ya saya ulangi lagi, kemudian menyesal lagi, terus saja berputar seperti itu sampai mampus. Dan, dengan sadar saya pun mengijinkan diri ini untuk menyesal sepuas-puasnya. Bahkan pernah saking menyesalnya, kewarasan yang tersisa hanya tinggal setitik nila. Tapi, dengan sadar pula –setidaknya dengan setitik kesadaran yang tersisa– sebisa mungkin saya buat penyesalan itu tidak berjalan lama. Sebab, toh tak peduli mau sedih ataupun senang, bukankah waktu tetap terus berjalan? Yang mana itu artinya, saya tetap kudu melanjutkan hidup –entah memulai dari awal, atau ya sudah lanjutkan saja, tak usah ambil pusing soal apa yang baru saja terjadi. Laiknya saat ujian di bangku sekolah: datang, kerjakan, lupakan. Untuk hasil akhirnya, ya tinggal berdoa saja –jika masih percaya adanya Tuhan.
Sekilas, hidup saya mungkin
nampak terlampau runyam di tahun lalu. Namun, sebetulnya tidak juga. Karena
toh, saya akui saja, dalam beberapa kasus, kerunyaman yang terjadi itu justru
sangat saya nikmati –baik kerunyaman yang pada akhirnya meninggalkan
kebahagian maupun menggoreskan luka.
Jika ditelaah, apa yang
terlihat dan saya anggap sebagai bentuk “kerunyaman” itu mungkin terjadi akibat
saya membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Saya memaksa diri saya untuk
menikmati apapun yang terjadi –meski tak jarang malah membuat saya keteteran.
Saya sengaja tidak membuat target yang spesifik. Saya ingin benar-benar
berproses dalam menjalani dan menikmati hidup dengan apa adanya –mengalir pelan.
Dan dalam banyak hal, apa yang sudah terjadi itu merupakan buah bentuk dari
kespontanan.
Menyangkut kebahagiaan, salah
satu yang paling berkesan saya rasakan di bulan kedua tahun lalu. Ternyata,
betapa melegakan dan membahagiakannya saat kita mampu melepas sesuatu maupun
seseorang dengan penuh kerelaan dan tanpa paksaan. Dalam kasus ini, saya
melepas seseorang dengan senyum tulus penuh keikhlasan. Saya biarkan dia
melangkah menuju jalannya. Tak ada sedih sama sekali. Saya belajar satu hal di
titik ini: bahwa ada hal-hal yang tak perlu dipaksakan. Biarkan saja. Lepaskan
saja. Sebab, ternyata melepasnya justru meninggalkan perasaan yang (terkadang)
lebih indah daripada saat jatuh cinta.
Sementara itu, menyangkut
kemarahan –sekaligus kesedihan– berulang kali saya marah kepada diri saya
sendiri. Bahkan hingga tulisan ini saya tulis, sisa-sisa kemarahan terhadap
diri sendiri itu masih dapat saya rasa. Saya marah atas ketidaktegasan saya
sendiri. Saya marah atas kelalaian saya sendiri. Saya marah atas sakit hati
yang, tak lepas, disebabkan oleh diri ini. Saya jengkel terhadap diri ini yang
masih saja mati-matian mempertahankan apa yang seharusnya sudah dilepaskan. Saya
geram atas semua keteledoran yang saya lakukan dengan penuh kesadaran. Saya marah
betapa, ternyata, saya masih belum bisa meninggalkan kebiasaan menggarami luka –ya,
silakan sebut saya masokis! Luka yang tadinya kecil saja, justru saya
main-mainkan, hingga tanpa sadar tahu-tahu makin menganga. Akibatnya, kesedihan
yang tadinya tak seberapa, justru berujung menjadi kesedihan besar yang,
ternyata, tak mampu saya tanggung.
Padahal, berulang kali saya
sudah berkata pada diri ini: hati-hati, jangan main api, ingat akan konsekuensi
–peringatan ini berlaku dalam hal apapun. Tapi, betapa naifnya saya. Saya pikir,
karena saya sudah tahu betul atas konsekuensi apa yang akan saya hadapi, maka
saya tidak akan terluka –atau setidaknya bisa menahan luka yang dimaksud. Tapi nyatanya
tidak. Ternyata saya tetap tidak siap terluka. Saya tak mampu menahan luka –meski
itu sedikit saja. Maka, tersayatlah hati kecil saya. Retaklah tembok kewarasan
saya. Tembok penopang diri agar saya mampu berdiri tegak, yang bertahun-tahun
terus saya bangun, perlahan hancur berserakan.
Bajingan betul kamu, Lif! begitu rutuk saya terhadap diri ini. Tidak ada kesedihan yang mampu saya
rasakan saat saya terluka kala itu. Kesedihan saya tertutup oleh kabut
kemarahan terhadap diri sendiri dengan diiringi oleh air mata –ketika saya
marah, saya cenderung menangis, sebaliknya, saat sedih saya justru tak bisa
menangis. Seseorang bertanya, mengapa saya marah terhadap diri saya sendiri. Jawabnya
sederhana saja, karena sebetulnya saya memiliki kontrol penuh atas diri ini. Jadi,
jika saya sampai terluka, maka sebetulnya saya ikut ambil andil dalam melukai
diri saya sendiri. Dan berbicara soal luka ini, hingga tulisan ini saya unggah,
luka itu masih bercokol di dalam diri ini. Luka ini saya suburkan dengan garam
dan saya siram dengan air mata. Dan jangan pernah, sekalipun, berani untuk
bertanya bagaimana rasanya –maaf, terkadang saya memang terlampau egois.
Beruntungnya, saya masih
memiliki beberapa orang dekat yang telinganya masih mau mendengar keluh kesah
saya. Yang suara dan senyumnya mampu menenangkan saya. Yang pundaknya mampu
menopang saya. Yang tangannya selalu siap sedia untuk menguatkan dan merangkul
diri ini. Serta, menyediakan waktunya untuk menghibur saya yang terkadang tak
tahu diri dan berulang kali bebal ketika dinasehati. Terima kasih. Terima kasih
atas kesediaannya untuk selalu ada bagi saya yang kerap datang dengan membawa
tangisan.
Dan pada akhirnya, semua
kejadian itu, baik yang menyenangkan maupun tidak. Yang mampu menggoreskan
senyum bahagia di raut muka saya maupun yang membuat saya meneteskan air mata. Membuat
saya belajar banyak hal. Rasa senang, jengkel, takut, serta rasa pedih dan
sakit akan api yang sempat membakar saya justru banyak memberikan saya
pelajaran. Terkesan naif memang. Namun, ya nyatanya memang begitu. Saya banyak
belajar soal, (mencoba) mengerti dan memahami sesuatu maupun seseorang. Saya belajar
untuk terus (mencoba) bersabar –menahan godaan untuk tidak memukul sesuatu
maupun seseorang. Saya belajar soal kerelaan serta keikhlasan. Belajar soal
berani menerima konsekuensi dan bertanggung jawab atas apa yang telah saya
lakukan. Juga, belajar untuk tidak mudah menyerah. Serta belajar mati-matian
untuk berhenti menjadi seseorang yang masokis, seseorang yang gemar menggarami
luka di hatinya sendiri.
---
p.s. maaf jika tulisan ini terasa sangat emosional.
p.p.s. selanjutnya, ada satu hal besar yang harus segera saya selesaikan
–selain skripsi– di tahun 2017 ini: sebuah pengakuan. Suatu malam, jauh dari
hiruk pikuk kota kelahiran saya, saya akan memaparkan sebuah cerita panjang
kepada seseorang di mana aktornya adalah dia dan saya.
Comments
Post a Comment