Sumber: goodreads.com |
Judul: Beranda Angin
Penulis: Randu Alamsyah
Penerbit: Diva Press
Terbit: Agustus 2016
Tebal: 328 halaman
ISBN: 978-602-391-203-2
“... mengapa masih ada orang yang
tega mengambil sisa-sisa kebahagiaan orang yang sudah tidak memiliki apa-apa
lagi di hidupnya?”
– halaman 108.
Beranda
Angin berkisah mengenai lika-liku kehidupan Lando yang penuh dengan kerikil-kerikil
tajam. Sedari kecil, Lando yang merupakan anak semata wayang dibesarkan oleh
ayah dan ibu yang berbeda agama –sang ibu beribadah di gereja, sedangkan sang
ayah di masjid. Meski sempat menuai konflik di keluarga besar masing-masing, tapi
nyatanya kehidupan Lando dan ayah-ibunya tetaplah bahagia.
Namun,
siapa sangka bahwa kehidupan yang bahagia itu mulai memudar ketika sang kakek
dari pihak ibu meninggal. Oleh sang ayah, Lando dibawa ke Desa Bumbungan.
Rencananya, setelah urusan kematian sang kakek selesai, ibunya pun akan segera
menyusul Lando dan suaminya.
Tapi,
hingga bulan berganti tahun, sang ibu tak juga menampakkan diri dan kabar. Hingga
sebuah kesempatan bernama Lomba Cepat Tepat menghampirinya. Jika, ia berhasil
menjadi juara Cepat Tepat tingkat SD berurutan, maka ia akan mengikuti final di
ibu kota provinsi, Manado. Ia sangat berharap saat lomba nanti sang ibu akan
datang ke studio TVRI, tempatnya mengikuti lomba.
Dan
memang itulah yang terjadi, Lando berhasil maju mengikuti final di Manado, bahkan
bersama timnya, ia memenangkan kejuaraan Cepat Tepat itu. Tapi, menyedihkannya,
di saat yang bersamaan itu, Lando justru sangat terpukul oleh berita bahwa sang
ibu tidak (dan tidak akan pernah) datang menemuinya.
Tak
bisa menerima kenyataan tesebut, maka dirinya pun memutuskan untuk pergi,
meniti kehidupannya sendiri.
-----
Ditulis
melalui dua sudut pandang –POV 3 dan POV 1 (khusus untuk cerita yang “dituturkan”
Lando), sang penulis menceritakan kisah ini dengan sangat detail. Lebih dari
itu, ia juga berhasil memainkan plot dengan apik dan rapi. Selain Lando
sendiri, tokoh lain yang ikut mengisi cerita ini di antaranya adalah Fire –yang
suka mendominasi pembicaraan dan selalu berusaha terlihat dewasa–, Maya –si gadis
berambut lurus berwarna kepirangan yang selalu ceria–, dan penghuni tangga
masjid –Yudi, Pudang, Gepeng, Amat, dan Daeng.
Satu
hal yang paling membekas di benak saya seusai membaca novel ini adalah melalui
novel ini, kalian akan diajak oleh sang penulis untuk mengeja makna kebahagiaan
dari hal-hal yang sederhana. Bijaksananya, sang penulis tidak terkesan
menggurui para pembacanya. Ia membiarkan pembacanya untuk menyimpulkan sendiri.
Sementara
itu, dari aspek teknis, kovernya sendiri memang menggunakan warna yang cukup
mencolok, namun sayangnya warna yang mencolok itu terlihat biasa saja. Saya pribadi
menilai bahwa desain gambarnya agak kurang menarik –namun sekali lagi, jangan
terkecoh dengan kovernya, sebab yang “dijual” dari novel ini adalah jalan
ceritanya, bukan kovernya. Lepas dari itu, tata letak halaman dalam novel ini
terbilang rapi.
Selebihnya,
saya pikir tidak ada masalah dari novel ini. Cerita di dalamnya menarik untuk
dibaca.
Akhirnya,
selamat membaca!
Comments
Post a Comment