Sumber: Goodreads |
Judul: Maple Terakhir
Penulis: Aning Lacya
Penerbit: PING
Terbit: 2016
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-407-002-1
“Aku
tidak menganggap (masa lalu) penting atau tidak. Tapi ... kita bisa belajar
dari sana. Bukan seberapa pentingnya, tapi seberapa jauh kamu belajar darinya.”
– halaman 134.
Betapapun pahitnya atau manisnya sebuah kenangan,
apapun yang sudah terjadi, sampai kapanpun tak akan bisa kita ubah. Karenanya,
tak perlulah sebenarnya kita berlarut-larut untuk menyesalinya –jika kenangan
yang dimaksudkan buruk. Jangan pula terlampau larut dalam kebahagiaan hingga
lupa bahwa roda hidup terus berputar. Mau pahit atau manis, satu hal yang perlu
dicamkan adalah seberapa jauh kamu belajar dari pengalaman pahit dan manis itu.
Jika pahit, jadikan kepahitan itu sebagai cambuk agar kamu bisa lebih maju.
Sebaliknya, jika manis, jadikanlah itu sebagai penguat motivasimu agar terus
dan selalu lebih baik lagi.
Jangan sampai kamu seperti Camille yang selalu ingin
berlari dari kenangan masa lalu. Sebab, percaya atau tidak, semakin kamu
berusaha berlari dan melupakan kenangan, maka semakin tenggelamlah kamu ke
dalamnya.
Kesadaran Camille untuk move-on memanglah ada. Namun, berbagai usaha untuk mengalihkan masa
lalunya masih saja gagal. Hingga pada suatu hari, ia melakukan sesuatu yang
sama sekali baru, yakni membolos kuliah dan pergi melihat dunia yang baru. Di
saat itulah, kemudian ia mendapat teman baru, Joulien dan Ken.
Singkat cerita, pertemanannya dengan Joulien dan Ken
menghadapkannya pada sebuah kesadaran baru. Bahwa ternyata meski ia sudah
terbebas dari masa lalu “yang dulu”, pada akhirnya ia tetap berhadapan dengan
masa lalu “yang baru”. Maka, jalan keluar satu-satunya adalah dengan
menghadapinya. Camille tahu bahwa dirinya tak mungkin selamanya harus berlari.
Dilihat dari unsur-unsur instrisiknya, novel ini
ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Kemudian, latar tempat
yang digunakan adalah beberapa kota di Belgia, seperti Gent, Brugge, dan
Antwerpen. Camille sebagai tokoh utama cenderung digambarkan sebagai gadis yang
sekilas kurang percaya diri, agak pemurung dan sulit ditebak. Sementara itu,
Joulien digambarkan sebagai gadis berambut pajang dan bermata cantik yang
sekilas tampak selalu ceria. Sedangkan, Ken adalah seorang laki-laki yang baik
hati.
Secara keseluruhan, cerita khas remaja dalam novel
ini terbilang cukup manis. Namun, ada beberapa hal yang menurut saya kurang.
Pertama, aneh rasanya saat penulis menuliskan secara tersirat bahwa Camille
berasal dari Indonesia. Ini karena nama Camille
bukan-nama-orang-Indonesia-banget. Saya pikir kenapa tidak sekalian saja dari
awal Camille disebutkan sebagai orang Belgia. Toh, saya pikir sepertinya lebih
bagus jika begitu, karena dari awal sang penulis telah sedemikian rupa men-treatment sang tokoh utamanya jauh dari
segala macam apa yang berkaitan dengan Indonesia. Namun, perlu saya katakan
juga bahwa sebetulnya setting tempat
yang digunakan tersebut kurang terasa. Penulis kurang sukses dalam mengeksplor
perihal latar. Lalu, kekurangan lain ada pada pemaparan masa lalu Camille yang
menurut saya kurang clear dan “tegas”
serta cenderung bertele-tele dan sepotong-potong –tidak benar-benar utuh. Selain
itu, chemistry antara Ken dan Camille juga kurang terasa.
Lepas dari itu, secara teknis, saya cukup suka dengan
desain kovernya yang sebetulnya sederhana tapi mengena. Begitu pula dengan tone yang digunakan, yang mana menambah
kesan manis. Tata letaknya, baik halaman dalam maupun pada bagian kover, juga
terbilang rapi.
Akhir kata, selamat membaca!
Comments
Post a Comment