Judul: Garnish
Penulis: Mashdar Zainal
Penerbit: de Teens
Terbit: April 2016
Tebal: 220 halaman
ISBN: 978-602-391-126-4
“Betapa
Tuhan menciptakan manusia dengan kesempurnaannya masing-masing, dengan
passion-nya masing-masing. Maka, menjegal passion
seseorang supaya menekuni passion
yang lainnya adalah hal terkejam di dunia ... seperti memaksa seseorang
berganti wajah ... memerkosa ... membunuh.” – halaman 100.
Dalam tatanan hidup di masyarakat, ada sebuah
kontruksi sosial yang sering kali membuat kita merasa jengah. Misalnya,
laki-laki tidak seharusnya mengurusi masalah domestik, mereka lebih cocok
berada di ranah publik. Sebaliknya, perempuan baiknya berada di ranah domestik,
bukannya di ranah publik.
Nah, disadari atau tidak, novel ini sedikit banyak bercerita
soal konstruksi sosial yang dimaksud di atas. Dikisahkan, di dalamnya terdapat
dua tokoh utama yang bernama Anin dan Buni. Anin sendiri adalah seorang gadis bertekad
yang besar. Ini terlihat dari bagaimana ia mengabaikan larangan sang ayah yang
tak suka dengan kegiatan melukisnya. Di mata ayahnya, anak gadis tak seharusnya
melukis.
“Melukis hanya
pekerjaan yang dilakukan oleh seniman pengangguran yang berantakan .... cat air
itu mengotori rumah dan mengotorimu.” – halaman 17.
Sedangkan, Buni adalah seorang laki-laki yang baru
saja mendapat gelar sarjana ekonomi. Sudah tak terhitung berapa kali ia
mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan. Namun, tak ada satu pun
yang menerimanya. Tapi, ia tak lantas bersedih. Ia justru berpikir bahwa
mungkin ini memang jalannya untuk meraih mimpinya sendiri, menjadi seorang chef, bukan menjadi ekonom seperti yang
dimaui sang ibu.
Namun sang ibu sangat menentang keinginan Buni itu. Sang
ibu kerap memarahinya jika ia ketahuan masuk dapur untuk bereksperimen membuat
makanan-makanan baru. Bahkan saat SMP dulu, ibunya sempat memarahinya
habis-habisan dan mengiranya bencong lantaran Buni memilih ekstrakulikuler Tata
Boga.
Nah, di titik inilah, saya kemudian melihat bahwa
sang penulis sebetulnya tak sekedar menyuguhkan cerita untuk dibaca di kala
senggang saja. Lebih dari itu, si penulis juga ingin mengajak para pembaca
untuk berpikiran terbuka. Tak seharusnya melukis mendapat cap sebagai kegiatan
seniman pengangguran, bukan? Tak seharusnya pula laki-laki tidak boleh memiliki
ketertarikan untuk bekerja di dapur, bukan?
Laiknya Katniss Everdeen dalam film The Hunger Games, kedua tokoh tersebut –Anin
dan Buni– digambarkan sebagai simbol “pendobrak”, dalam hal ini, stigma dan pikiran-pikiran
dangkal yang membelenggu. Mereka berdua bisa membuktikan bahwa passion mereka tidak seburuk yang orang
lain pikirkan.
Secara keseluruhan, novel yang ditulis dengan sudut
pandang orang pertama ini menarik. Narasinya sederhana, tapi enak dibaca. Sangat
mengalir. Diksi yang digunakan pun mudah untuk dipahami. Hanya saja, cukup
disayangkan karena masih terdapat kesalahan penulisan di dalamnya. Misalnya,
kata siung bawang tertulis menjadi suing bawang.
Kemudian, untuk kover sendiri, saya merasa agak kaku.
Ditambah lagi, adanya gambar-gambar kecil, seperti kayu manis, daging, dan
avokad, menurut saya malah membuat tata letak kover terkesan kurang rapi. Tapi,
saya cukup menyukai pemilihan warna pada kover. Di satu sisi, memang perpaduan
warna antara kuning dan tosca kurang nyambung. Namun, di sisi lain, hal
tersebut menjadikan novel ini cukup mencolok tanpa harus menggunakan warna yang
menyakitkan mata.
Akhir kata, selamat membaca!
Comments
Post a Comment