Sumber: Goodreads |
Judul :
Norwegian Wood
Penulis :
Haruki Murakami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan :
kelima, Februari 2015
Tebal :
iv + 423 halaman
ISBN :
978-979-91-0835-7
“Memikirkan
hal itu aku merasa nelangsa, karena Naoko tidak mencintaiku samasekali.” –
halaman 12.
Sebagai awalan, saya harus membuat pengakuan terlebih
dahulu. Jujur, saya merasa berat untuk membaca novel ini –padahal sebelumnya
sudah diwanti-wanti oleh seorang teman mengenai ciri khas tulisan Murakami.
Bukan karena isinya ataupun pilihan diksinya, melainkan alurnya yang berjalan
lambat dan terkadang terlampau datar.
Sebagai seseorang yang tidak menyukai tempo yang
pelan, saya merasa agak tersiksa saat membacanya. Namun, saya tidak sampai hati
untuk tidak menyelesaikan novel ini. Sebab, saya juga ingin tahu bagaimana
cerita berakhir. Singkat kata, butuh waktu hampir empat bulan bagi saya untuk
menuntaskan novel ini.
Norwegian Wood, lepas dari pernyataan saya di atas, merupakan
novel yang bagus. Novel ini berkisah mengenai perjalanan hidup Watanabe sewaktu
muda –remaja jelang dewasa. Cuilan-cuilan kisah itu dirangkum oleh Murakami
sebagai sebuah ingatan yang dituliskan dengan sangat detail –ya, detail
merupakan salah satu poin plus dari novel ini.
Kisahnya bermula dari saat di mana Watanabe tengah
berada di dalam pesawat Boeing 747. Dalam perjalanan menuju Hamburg tersebut tiba-tiba
mengalunlah intrumentalia Norwegian Wood
milik The Beatles. Mendengar alunan tersebut membuat Watanabe seakan-akan
terlempar pada kenangan masa lalunya. Terhadap Naoko, sang cinta pertamanya
–gadis yang selalu dipujanya, namun ternyata tak mencintainya balik, dan
terkadang membuatnya merasa nelangsa. Kizuki, sang sabahat karibnya. Terhadap
Midori, sang gadis badung yang ekspresif dan terkadang sedikit egois. Dan,
kisah-kisah lain saat ia masih duduk di bangku kuliah.
Oleh Murakami, Watanebe dalam kisah ini dituliskan
dengan watak, yang menurut saya, nrimo,
ramah dan lembut, dan apa adanya. Kemudian, Naoko adalah sosok gadis berambut
lurus yang tak mudah ditebak. Sedangkan, Kizuki adalah seseorang yang pandai
beradaptasi namun tak pandai bersosialisasi. Dan tak lupa, Nagasawa digambarkan
sebagai orang dengan cara berpikir unik dan cerdas, namun memiliki moralitas
yang agak miring.
Dari segi terjemahan, novel yang ditulis dengan sudut
pandang orang pertama ini, menurut saya, memiliki terjemahan yang enak dibaca.
Hanya saja, sangat disayangkan karena masih banyak ditemukan kesalahan
penulisan. Halaman 32, misalnya, di mana kata ayahnya tertulis menjadi ayahna
(kurang huruf “y”).
Lepas dari itu, saya menyukai akhir cerita yang tak
mudah ditebak. Lebih jauh, sebetulnya pula, ending
dalam novel ini juga diberikan sepenuhnya terhadap interpretasi pembaca. Bagi
pembaca yang tidak menyukai akhir cerita yang menggantung, pastilah akan
“frustasi”. Namun, bagi saya, ini merupakan satu hal yang cukup menarik –meski
sebelumnya sempat bingung dan tercengang, “Uwis mung ngene tok akhire?”
Singkatnya, saat itu saya tidak bisa memutuskan
apakah saya bahagia ataukah kecewa terhadap ending-nya.
Namun, karena emosi saya ikut tersentuh pada beberapa halaman terakhir, maka
saya pun membulatkan kata menarik untuk novel ini.
Untuk segi kover sendiri, saya suka warna abu-abu
yang digunakan sebagai latar belakang. Menurut saya, hal tersebut cukup
representatif dengan kisah hidup Watanabe, yang lagi-lagi menurut saya, juga
abu-abu. Lalu, untuk desain gambarnya sendiri terbilang sederhana. Namun, jika
dilihat-lihat lebih seksama, gambarnya memiliki konsep yang sangat menarik.
Terakhir, saya pikir novel ini mengajak kita untuk
mencari apa itu kebahagiaan. Ah, dan ada satu kutipan yang saya suka dari novel
ini,
“Aku
sudah menasihatkan segalanya ... kepadamu, jadi aku tak bisa mengatakan apa-apa
lagi ... (selain) ‘berbahagialah kamu’ itu saja. Berbahagialah dengan
kebahagiaan yang mesti dialami Naoko dan diriku.” Reiko-san kepada
Watanabe, halaman 425.
Akhir kata, selamat membaca!
Comments
Post a Comment