Judul : Interval
Penulis : Diasya Kurnia
Penerbit : PING
Terbit : 2016
Tebal : 176 halaman
ISBN : 978-602-391-059-5
“... aku harus berjuang menunjukkan
pada mereka kalau tidak semua penari jathil
negatif ... kalau semua orang berpikir seperti itu, jathil akan segera lenyap karena tak diminati generasi penerus.
Seperti pula kata hatiku, siapa tahu aku bisa menjadi penari profesional ...
bukan hanya dari kampung ke kampung. Menjadi terkenal, hingga membuat
orangtuaku kembali.” –
halaman 16.
Awalnya,
saya pikir novel ini berkisah tentang seorang anak yang bercita-cita menjadi
penari profesional di tingkat internasional. Namun, dugaan saya rupanya agak
meleset. Sebab, Kinanti berharap dengan menjadi penari internasional ia
berharap dapat dimudahkan dalam menemukan orangtuanya.
Sebetulnya
cerita ini cukup menarik. Sang penulis mengangkat unsur lokalitas sebagai
“menu” utama. Hanya saja, di tengah-tengah menuju akhir, saya mulai kehilangan
fokus cerita. Alurnya memang runut, tetapi tahu-tahu alur sudah melompat jauh.
Tiba-tiba saja diceritakan kalau Kinanti tengah berada di New York.
Keinginan
Kinanti yang di awal telah disampaikan, ingin menjadi penari profesional, tak
lagi disebut-sebut. Ada yang ganjil juga di sini, yakni pekerjaan Kinanti yang
tak disebut. Ini sebetulnya sangat sepele, tapi saya bertanya-tanya apa
pekerjaannya –sehingga bisa menebak gajinya. Mengingat bahwa biaya transport
dan biaya hidup di New York tidaklah murah. Padahal sebelumnya juga sudah
dituliskan bahwa kondisi ekonominya di bawah rata-rata. Ia hanya tinggal dengan
sang kakek yang sering sakit-sakitan. Sedang, sang kakek sendiri hanya bekerja
sebagai pembuat topeng.
Sebetulnya,
saya dapat memahami mengapa novel ini diberi judul Interval. Namun, ada
beberapa detail yang justru mengalihkan fokus penceritaan. Saya agak terganggu
dengan selipan-selipan kisah cinta, seperti kenyataan bahwa Rey menyukainya,
dan rasa sukanya kepada Seth. Menurut saya, hal tersebut justru membuat cerita
terkesan tidak fokus. Apakah novel ini ingin bercerita soal kecintaan Kinanti
terhadap tari? Atau menemukan orangtuanya? Atau orang yang disukainya?
Meski
begitu, saya menyukai saat sang penulis mendeskripsikan sesuatu. Latar tempat,
misalnya, yang salah satunya dapat kita jumpai di awal. Deskripsinya detail,
sehingga pembaca dapat membayangkan tempat kejadian dengan mudah.
Lebih
lanjut, novel yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama ini, tidak
menggunakan terlalu banyak tokoh. Tokoh utamanya sendiri adalah Kinanti,
seorang gadis berambut panjang, berwarna brunette.
Lalu, tokoh lain di antaranya adalah Rey –yang berwajah manis dengan rambut
pendek, Ratih –yang sombong dan manja, dan Carl –si guru Bahasa Inggris yang
berasal dari New York.
Poin
plus lain dari novel ini, saya pikir, ada pada pesan yang berusaha untuk
disampaikan oleh sang penulis. Sang penulis mengingatkan bahwa kita harus
melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia, setidaknya budaya yang ada di
lingkup daerah tempat tinggal para pembaca dulu saja. Kedengarannya agak naif
memang, tapi kalau bukan kita siapa lagi?
Untuk
segi kover, jika dilihat dari aspek judul dan desain gambar –dua bingkai foto–
rasanya cukup representatif. Tapi, jika dilihat antara gambar dan background, menurut saya, kurang
“masuk”. Ditambah lagi dengan gambar kuda lumpingnya, jatuhnya justru aneh.
Pemilihan jenis huruf untuk sub-judulnya menurut saya juga kurang tepat.
Sepertinya akan lebih bagus jika jenis hurufnya dibuat sama dengan yang
digunakan pada judul utama. Nah, kalau soal tata letak, menurut saya sudah
rapi, baik kover maupun halaman dalam.
Selebihnya,
selamat membaca!
Comments
Post a Comment