Politik Perebutan
Tahta
Judul : A Game of Thrones
Penulis :
George R. R. Martin
Penerjemah : Barokah Ruziati
Penerbit :
Fantasious
Cetakan :
kedua, Mei 2015
Tebal : XVI + 948 halaman
ISBN :
978-602-0900-29-2
Lega. Tapi juga kehabisan kata-kata
secara bersamaan.
Selesai membaca novel setebal 900 halaman
lebih ini, saya hanya bisa terbengong-bengong. Senang karena akhirnya saya
berhasil melahap cerita di dalamnya –meski memakan waktu berhari-hari lamanya. Namun,
juga tak percaya dengan akhir ceritanya. “Uwis? Ngene iki? Sumpah?” begitu
batin saya sesaat setelah tercengang.
Duh, dari mana saya harus memulai, ya? Yang
pasti, GoT memiliki konflik yang rumit –dan entah mengapa sedari dulu saya
memang mencintai cerita dengan konflik rumit dan bertumpuk-tumpuk. Lebih lanjut,
karena konflik yang berlapis-lapis itu juga, jalan ceritanya menjadi tidak
mudah tertebak.
Dari segi alur, novel penuh misteri dan
beraura gelap ini memiliki plot progresif. Jalan ceritanya ditulis dengan sudut
pandang orang ketiga melalui sudut pandang beberapa tokoh yang memiliki peran
yang cukup “vokal” –Ned, Robbert, Jon, Arya, Sansa, Catelyn, Tyrion, Dany
(apakah ada yang belum saya sebutkan atau salah, mungkin?)
Secara keseluruhan, saya sangat menyukai
novel ini –lebih tepatnya, menyukai jenis cerita perang kolosal seperti ini. Emosi
yang dibangun oleh sang penulis, setidaknya bagi saya, sukses menggoncang emosi
pembaca. Saya sendiri “terguncang” di bagian di mana Arya melihat sang ayah
dijagal, dan saat kabar kematian Ned sampai ke Brann dan Rickon.
Untuk tokoh sendiri, novel ini memiliki
banyak pemain dengan karakter beragam. Di antaranya adalah Arya, yang menurut
saya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Kemudian, Sansa yang terlalu lugu
dan “bodoh” –ya, terkadang keluguan dan kebodohan berbeda tipis. Lalu, Ned yang
jujur dan bijak –dibanding yang lain. Selanjutnya, adapula tokoh-tokoh yang
sangat menyebalkan, seperti Cersei yang serakah, Joff yang angkuh, dan
Littlefinger yang licik.
Dan dari semua tokoh, baik yang saya
sebutkan di atas maupun tidak, yang paling saya sukai adalah Arya. Karakter yang
dimilikinya terbilang kuat dan cukup menonjol.
Ah, ya! Hampir lupa. Sisi menarik lain dari novel ini menurut saya dapat ditemui pada lelucon sarkasnya. Dan meski terkadang digambarkan dengan watak yang menyebalkan, kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Tyrion tak jarang quote-able.
Lepas dari itu, di segi teknis, saya
menyukai desain sampulnya. Warna merah sendiri merepresentasikan isi ceritanya
yang “berdarah-darah”. Kemudian, untuk desain gambarnya warna putih pada hurufnya
menggambarkan Klan Stark yang mana merupakah klan dengan porsi peran terbanyak
dalam cerita.
Lebih lanjut, tata letaknya sendiri
terbilang sederhana, tapi rapi. Lalu, jenis kertas yang digunakan untuk kovernya,
menurut saya, memiliki poin plus tersendiri. Sebab, tidak banyak novel di
pasaran yang menggunakan jenis kertas serupa.
Sayangnya, saya agak terganggu dengan
kesalahan penulisan yang sering saya jumpai. Misalnya, pada halaman 594, di
mana binatang tertulis menjadi bintang (kurang huruf a di tengah). Lalu, ada
juga beberapa kalimat dialog yang tidak disertai dengan tanda petik buka. Hal seperti
ini memang terkesan sepele, tapi bagi saya cukup mengganggu.
Selebihnya, saya tidak merasa ada yang
salah. Hanya mungkin, beberapa halaman yang margin-nya
terlalu ke bawah. Namun, saya pikir itu bukan kesalahan pada saat layouting, melainkan percetakan.
Terakhir sebelum tulisan ini saya
tutup. Satu hal yang masih mengganjal bagi saya, yakni nasib Arya yang, bagi
saya, masih abu-abu. Ah, sepertinya saya harus segera membeli seri selanjutnya.
Agar tahu bagaimana cerita benar-benar berakhir.
Akhir kata, selamat melahap cerita di
dalamnya!
Comments
Post a Comment