Sumber: Goodreads |
Judul :
Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
kedua, Maret 2015
Tebal :
282 halaman
ISBN :
978-979-22-5589-8
“Tak
pernah ada cita-cita lain yang diturunkan orangtuaku selain bisa makan hari
ini. Tapi aku menyimpan harapan dan mimpi. Setidaknya untuk entrok. Cukup dengan harapan itu saja
aku bisa melakukan apa saja. Dari buruh pengupas singkong menjadi kuli. Dan sekarang
terseok-seok... mampir ke setiap rumah, menawarkan belanjaan yang hanya
sedikit.” – halaman 45.
Salah satu yang paling mengena dari novel
ini, bagi saya, adalah pesannya yang mana menegaskan bahwa orang hidup harus
memiliki mimpi dan harapan. Tanpa keduanya, kita hanyalah seonggok daging yang “mati”,
yang tak tahu dan tak memiliki arah. Dan yang paling parah, membuat orang lain,
yang menganggap dirinya berkuasa, mampu untuk “menyetir” kita.
Namun, mimpi saja, pada dasarnya,
tidaklah cukup. Harus ada kemauan dari dalam diri untuk menggapainya. Dan pada
konteks cerita ini, hal tersebut tergambarkan pada lika-liku kehidupan Marni.
Saya rasa, tak perlulah saya berpanjang
lebar untuk menuliskan secuil kisah di dalamnya. Sebab, sudah terlalu banyak
orang lain yang menuliskannya. Intinya, novel ini tidak bercerita mengenai
pakaian dalam perempuan –seperti yang tergambar pada kover. Tidak juga
bercerita mengenai perempuan itu sendiri –meski perempuan di sini dijadikan
tokoh utama dan “kacamata” dalam penuturan penceritaan. Melainkan, novel ini
lebih tepat untuk dikatakan sebagai novel yang berkisah tentang menipisnya
toleransi dan menebalnya kesewenangan.
Nah, hingga tulisan ini saya unggah,
sebetulnya saya masih bertanya-tanya, mengapa novel ini diberi judul entrok? Apakah karena entrok merupakan “titik awal” bagaimana
Marni melakoni hidup dan mewujudkan mimpi-mimpinya? Atau karena entrok merupakan simbolisasi perempuan –mengingat
bahwa entrok dalam Bahasa Indonesia
adalah bra, dan tokoh utama dalam novel ini sendiri adalah perempuan. Ataukah ada
filosofi lain dari penggunaan entrok
sebagai judul di sini?
Lepas dari itu, novel ini ditulis dengan menggunakan
sudut pandang orang pertama melalui kacamata Marni dan Rahayu. Marni sendiri
digambar sebagai seorang perempuan yang ulet dan penuh tekad. Sementara itu, si
Rahayu –anak Marni, adalah perempuan, yang kalau saya bilang, “kehilangan arah”,
sangat berbeda dibandingkan Marni. Namun, satu hal yang sama dari mereka adalah
sekuat apapun keduanya digambarkan, pada akhirnya mereka tetap kalah saat
dihadapkan dengan laki-laki, dalam novel ini adalah penguasa, baik perangkat desa
hingga jajaran tertinggi maupun tentara.
Lucunya, meski begitu, tokoh perempuan
pada novel ini digambarkan dengan lebih superior dibanding laki-laki. Dan para
tokoh laki-laki itu sendiri digambarkan dengan watak yang suka
bermalas-malasan, hanya suka berfoya-foya, tak mau susah, dan bermental kuli –seperti
Teja misalnya.
Secara keseluruhan, saya menikmati cerita
yang ditulis oleh Okky Madasari ini. Semua elemen di dalamnya tereksplorasi
dengan baik. Penceritaan dua generasi di sini dituliskan dengan diksi yang
mudah dipahami, sama sekali tidak rumit, dan sangat mengalir.
Tak hanya itu, novel ini memiliki nilai
lebih –setidaknya bagi saya, karena mampu memasukkan kondisi sosial dan politik
secara umum yang terjadi pada masa Orde Baru secara riil. Bagi saya, suasana
yang dibangun dalam novel ini terasa hidup, sehingga emosi pembaca –lagi-lagi
setidaknya saya, ikut teraduk-aduk. Saya pikir, riset yang dilakukan oleh Okky untuk
menulis novel ini patut untuk diacungi jempol.
Namun, ada satu hal yang mengganggu saya,
yakni kesalahan penulisan. Misalnya saja pada halaman 16 paragraf kedua, di
mana membuat tertulis menjadi membut (tanpa a). Selain itu, untuk segi teknis
lainnya, saya pikir tidak ada yang bermasalah. Untuk kover sendiri, saya
pribadi cukup menyukainya karena tone
yang digunakan “lembut”, namun tetap mampu “mencolok” perhatian orang. Kemudian,
untuk tata letaknya, baik kover depan maupun belakang, buat saya sangat rapi. Hanya
saja, saya kurang menyukai warna latar kover belakang yang dan penggunaan warna
huruf yang, membuat mata saya, “kelelahan”.
Akhir kata, selamat membaca!
Comments
Post a Comment