Televisi
sebagai Ruang Publik (yang Menjelma Ruang Privat):
Komersialisasi
Kehidupan Selebritis melalui Tayangan Infotainmen
pada
Stasiun Televisi di Indonesia
Sumber: www.tabloidbintang.com |
Merujuk pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komersialisasi adalah perbuatan menjadikan
sesuatu sebagai barang dagangan. Secara kasar dapat dikatakan bahwa
komersialisasi merupakan suatu hal yang menekankan pada aspek profit. Jika,
ditarik ke dalam isu media, maka komersialisasi tersebut dapat diartikan
sebagai pergeseran fungsi media massa ke arah “yang penting dapat untung
banyak” dan kurang memperhatikan kualitas tayangan yang “diperjualkan”. Jika
sudah begitu, maka yang pasti mengalami kerugian adalah publik karena hak
mereka untuk mendapatkan tayangan bermutu pun hilang.
Nah, berkaitan dengan
komersialisasi itu sendiri di dalam dunia penyiaran ada banyak contohnya. Salah
satunya adalah komersialisasi ruang privat yang dibungkus dalam tayangan
infotainmen di televisi. Di mana kehidupan pribadi seseorang, seperti kisah pernikahan,
melahirkan, maupun perceraian, diekspos habis-habisan oleh media untuk dijual
kepada pengiklan. Terlebih jika publik figur yang bersangkutan memiliki nama
“besar”, Raffi Ahmad misalnya, sudah pasti media akan dengan senang hati
mengejar informasi tersebut.
Sedikit menyorot balik
soal media penyiaran, seperti yang kita ketahui bahwa ia merupakan media yang
menggunakan ranah publik. Ia memiliki sifat free
to air yang mana frekuensinya sangatlah terbatas. Oleh karenanya, media
penyiaran seharusnya dipergunakan dan dimanfaatkan bagi seluas-luasnya demi
kesejahteraan publik (Siregar, 2014: 123). Tayangan-tayangan yang ada sudah
sepatutnya merepresentasikan kebutuhan khalayak dan bukan tayangan yang
sifatnya privat.
Sayangnya, melihat
kondisi industri media penyiaran di Indonesia saat ini penulis justru merasa
bahwa apa yang disajikan oleh televisi kita saat ini bukan lagi merupakan
representasi dari kebutuhan khalayak itu sendiri, melainkan kebutuhan media. Salah
satunya bisa dilihat dari banyaknya stasiun televisi yang mengekspos kehidupan
selebritis secara berlebihan melalui acara infotainmen. Nah, dititik inilah
kita dapat melihat bahwa telah terjadi komersialisasi kehidupan privat
seseorang di ranah publik.
Infotainment sendiri,
menurut Syahputra (2006: 66) adalah kemasan acara yang bersifat informatif
namun dibungkus dan disisipi dengan hiburan untuk menarik perhatian khalayak,
sehingga informasi sebagai pesan utamanya dapat diterima. Merujuk pada
pengertian tersebut, penulis sendiri sebetulnya beranggapan bahwa bagaimanapun
infotainmen memang dibutuhkan. Namun, di industri televisi kita makna
infotainmen justru menjadikan sisi hiburannya sebagai “komoditi” utama yang
disampaikan kepada khalayak. Amir Siregar (2014: 101) pun berpendapat bahwa meski
dalam P3SPS infotainmen diklasifikasikan ke dalam program faktual, namun ia
juga bisa menjadi program nonfaktual karena lebih mengutamakan hiburan dan
bergerak zig-zag.
Pertanyaannya kemudian
adalah kalau memang sisi hiburan tersebut benar-benar menghibur dan dapat
dipertanggungjawabkan bagaimana? Tentu saja hal tersebut tidak masalah. Akan
tetapi, perlu kita sadari dahulu sebelumnya bahwa makna dari hiburan pun
sedikit banyak sudah mengalami pembiasan. Lho,
apa buktinya? Ya, kita bisa lihat di televisi bahwa informasi yang
disuguhkan pada tayangan tersebut tercampur-baur dengan drama dan sensasi.
Parahnya, selain cenderung sensasional, orientasi informasinya pun menjadi ke
ranah kehidupan pribadi public figure
yang bersangkutan. Pada intinya, infotainmen “bermasalah” dalam menyajikan
kontennya.
Sebagai contoh misalnya
saja berita mengenai perceraian Stuart Collin dengan Risty Tagor dalam sebuah
program infotainmen di NET TV.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah berita mengenai perceraian
tersebut benar-benar “menghibur”? Maksudnya, memang Anda mau diberi tahu berita
seperti itu? Masa Anda mau diberi berita perceraian? Adakah sangkut pautnya
dengan kehidupan pribadi Anda? Lebih jauh, apakah informasi dalam tayangan
tersebut berkualitas dan bermanfaat untuk diketahui oleh publik?
Bagi penulis sendiri,
tayangan tersebut jelas tidak berkualitas bagi publik. Dapat menuntaskan dahaga
bagi para penggemar selebritis tersebut bisa jadi. Namun, bermanfaat? Penulis
kira tidak sama sekali. Sedikit berbeda jika kemudian dibandingkan dengan
berita mengenai prestasi Maudy Ayunda, misalnya (bisa dilihat di sini).
Setidaknya, berita tersebut dapat memberikan inspirasi dan membuat orang yang
menontonnya semakin bersemangat untuk meraih prestasi.
Lalu, bagaimana sikap
kita terhadap tayangan infotainmen yang menyajikan berita tidak bermanfaat tersebut?
Atau apa yang harus kita lakukan? Kalau sikap dari penulis pribadi adalah
dengan tidak menonton tayangan tersebut, kecuali jika tujuannya jelas, untuk
bahan riset misalnya. Mengapa? Karena tayangan tersebut akan terus ada jika
memiliki penonton yang banyak.
Maksudnya begini,
berbicara mengenai komersialisasi sudah pasti tidak bisa dilepaskan dari rezim
rating dan iklan. Nah, di industri media kita, rating itu sendiri sudah bias
menjadi suatu hal merujuk pada jumlah penonton yang menonton program acara yang
bersangkutan, bukan kualitas program acaranya. Oleh karenanya, semakin banyak
penonton yang menontonnya, maka di titik itulah pengiklan akan terus masuk dan
selama para pengiklan masih tertarik untuk mempromosikan produknya, maka
kembali lagi bahwa acara tersebut akan terus survive.
Namun, tentu saja kita
tidak serta merta bisa menyuruh orang lain untuk mengikuti tindakan kita ini
secara langsung (dalam konteks ini adalah tidak menonton acara tersebut).
Mengapa? Karena dalam “menghadapi” hal seperti ini dibutuhkan pemahaman
tersendiri. Dengan kata lain mereka harus diberikan pemahaman tentang literasi
media terlebih dahulu. Dan sudah menjadi tugas kita, pembelajar media, untuk
memberikan mereka pemahaman agar mereka dapat memilah berita atau konten
program yang nantinya akan bermanfaat bagi mereka.
*) Aliftya - 25573
Daftar
Pustaka:
Siregar, Amir Effendi. 2014. Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi, Membangun Keberagaman.
Jakarta: Kompas.
Syahputra, Iswandi. 2006. Jurnalistik Infotainment: Kancah Baru Jurnalistik dalam Industri
Televisi. Yogyakarta: Pilar Media.
Comments
Post a Comment