Teka-teki
Telepon Misterius
Sumber: Goodreads |
Judul :
Telepon Misterius
Penulis : Riani Suhandi
Penerbit : PING!!!
Terbit : 2015
Tebal :
184 halaman
ISBN :
978-602-296-145-1
“Terkadang, aku berpikir kalau telepon misterius itu ibarat kematian. Keberadaannya menyadarkanku kalau kehidupan di dunia ini hanyalah sementara ... tidak ada waktu untuk bermain-main dengan waktu. Karena, bisa saja selanjutnya akulah korban teror telepon misterius itu.” – halaman 91.
Awalnya, saya agak ragu untuk membaca
novel ini. Jujur, saya kurang suka dengan hal-hal yang berbau horor. Tapi,
ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk segera membacanya saja, ternyata kehororan
di dalamnya tidak seperti yang saya bayangkan. Horornya memang ada, tapi
sebetulnya –bagi saya– lebih cenderung ke pemecahan misteri. Ya, setipe dengan
novel Konstantinopel.
Jadi, sesuai dengan judulnya, novel ini
bercerita mengenai teka-teki telepon misterius yang tengah beredar di kalangan
anak SMA di Bandung. Salah satu korbannya ialah Sahabat Tantry, yakni Nania –si
gadis cantik bertubuh mungil yang cukup berprestasi. Beberapa hari berselang,
telepon misterius itu kembali menggemparkan. Lagi-lagi yang menjadi korbannya
kali ini adalah teman sekolah Tantry.
Kecurigaan Tantry pun semakin
membesar. Singkatnya, ia pun membulatkan tekad untuk mencari tahu siapa yang
menjadi dalang di balik misteri ini. Bersama dengan Anggara, ia pun melakukan
penyelidikan yang terbilang berbahaya itu.
Novel yang ditulis dengan point of view orang pertama ini memiliki
alur yang progresif. Dari segi penceritaan secara keseluruhan, saya sendiri
menganggap tidak ada yang bermasalah. Hanya saja, saya agak sedikit merasa aneh
ketika latar belakang tokohnya di sini di setting
sebagai anak SMA. Buat saya, rasanya terlalu “horor” jika anak SMA bisa
melakukan hal seperti yang ada pada novel ini –silakan baca sendiri. Agak
kurang pas saja.
Khusus untuk bagian blurb yang terdapat pada sampul
belakang, buat saya cukup menarik. Blurb-nya
langsung masuk ke inti cerita tanpa membocorkan bagaimana cerita berakhir. Saya
sendiri paling suka bagian akhir cerita yang mana eksekusinya cukup menarik dan
tidak membosankan.
Untuk segi teknis, saya sedikit
menyayangkan karena masih terdapat kesalahan penulisan. Misalnya pada halaman
170 di mana tanpa tertulis menjadi tapa (tanpa “n”). Kemudian,
untuk kovernya –bagus atau jelek itu relatif, ya, tergantung selera tiap-tiap
orang– yang pasti jika dilihat dari temanya, yang “berbau” dark, tone dan jenis
hurufnya cukup representatif. Terlebih lagi soal desain gambarnya. Sementara
itu, untuk tata letaknya sendiri terbilang sederhana. Tetapi, di sisi lain
justru mempertegas kesan “gelapnya”.
Comments
Post a Comment