Sumber: Goodreads |
Judul :
7 Kisah Klasik
Penulis : Edgar Allan Poe
Penerjemah : Dion Yulianto dan Slamat P. Sinambela
Penerbit : Diva Press
Terbit : September 2015
Tebal :
204 halaman
ISBN :
978-602-255-968-9
Bagi para penikmat karya-karya
sastra, nama Egdar Allan Poe pastilah tidak asing lagi di telinga. Begitupun dengan
saya. Akan tetapi, baru di bulan inilah saya berkesempatan untuk membaca
karyanya. Ternyata karyanya –yang ada di buku ini tepatnya– identik dengan
hal-hal yang “gelap”, sedikit horor, dan penuh teka-teki. Gaya berceritanya pun
terkadang terlalu bertele-tele, misalnya saja seperti pada cerpen yang berjudul
“Kucing Hitam” dan “William Wilson”. Sebetulnya pula, kalau dilihat-lihat –dari
sudut pandang pribadi saya– jalan cerita cerpen-cerpennya terkadang rumit,
kadang agak kurang bisa dipahami apa value
yang penulis ingin sampaikan. Tapi di sisi lain, secara bersamaan, si penulis
juga berusaha menyuguhkan jalan cerita yang sesederhana mungkin.
Dari ketujuh cerita pendek yang ada
di dalamnya, yang paling saya suka adalah “Kucing Hitam” dan “Kumbang Emas”. Untuk
“Kucing Hitam” sendiri, menurut saya adalah cerita terhoror yang ada pada buku
ini. Dan, harus diakui, meski saya sama sekali tak menyukai hal-hal berbau
horor, namun cerita ini seakan memiliki daya “magis” tersendiri, sehingga akhirnya
saya menyukainya.
Sementara itu, “Kumbang Emas” lebih
cenderung bercerita tentang pemecahan teka-teki. Inti ceritanya adalah
perburuan harta karun peninggalan bajak laut. Sebagai informasi, “Kumbang Emas”
ini disebut-sebut sebagai cerpen “bajak-laut” pertama Poe. Meski ceritanya
terbilang cukup panjang –untuk ukuran cerita pendek– namun tetap seru dan tidak
membosankan untuk dibaca. Bagi yang menyukai teka-teki, cerita pendek ini jelas
wajib untuk dibaca.
Nah, kesamaan antara ketujuh cerita
di dalamnya –selain pada tema– ialah gaya penceritaan yang mana selalu ditulis
dari sudut pandang orang pertama. Dalam berkisah, Poe selalu memosisikan
dirinya sebagai “pendongeng”. Hal ini ditandai dengan kalimat seperti, “Aku hendak
menuliskan kisahku...” dan sejenisnya.
Untuk segi teknis sendiri, buat saya
tidak ada yang bermasalah. Kovernya sederhana, namun memiliki tone yang representatif dengan tema cerita
di dalamnya. Saya pribadi pun menyukai desain gambarnya. Dan, merujuk bahwa buku
ini merupakan antologi cerpen Poe yang mana terbilang klasik, secara typografi tipe huruf yang digunakan
untuk judul dan nama pengarang pun juga sangat representatif.
Jadi, tunggu apa lagi? Selamat membaca!
Terima kasih sudah mengulas :)
ReplyDelete