Sumber: Goodreads |
Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke- : 2, Agustus 2015
Jumlah halaman : 344 halaman
ISBN : 978-602-03-1892-9
“... buat Tanya Risjad, kebaikan suaminya begitu banyak seperti bintang di langit, dan kesalahannya hanya satu, namun sedemikian besarmya seperti matahari yang menutupi jutaan bintang tadi. Dan matahari itu terbit dan tenggelam, bintang-bintang itu muncul lalu hilang, berulang setiap hari, sampai seorang Tanya Risjad bingung apakah dia lebih suka menatap bintang atau terbakar panasnya matahari ...” – halaman 225.
Saya akan merasa berdosa jika saya
sengaja menuliskan secuil jalan cerita yang ada pada novel ini. Maka dari itu, setalah
saya selesai membaca buku ini, saya segera mengingat-ingat adegan mana yang
paling pas untuk menggambarkan keseluruhan isi di dalamnya. Dan, tak perlu
waktu lama –cukup dengan men-skimming beberapa halaman– saya menemukan kutipan (yang
telah saya tulis di awal) yang menurut saya paling pas untuk memberikan
gambaran tentang cerita apa yang diangkat dalam novel ini.
Ah, ya! Saya hampir lupa untuk bercerita
sedikit. Novel ini saya beli dengan perjuangan. Bukan perjuangan dalam hal
finansial –seperti yang saya lakukan ketika saya membeli katalog foto
Unpublished-nya Kompas– melainkan perjuangan untuk mendapatkannya dari toko
buku. Jadi, sebelum akhirnya saya memiliki buku ini, saya telah tiga kali menyusuri
Togamas-Togamas dan Gramedia-Gramedia yang ada di Jogja. Dan hasilnya, nihil. Selalu
kehabisan. Jadi, ketika tepat hari terakhir di Bulan Agustus lalu saya
mendapatkannya, saya tak berhenti tersenyum.
Berbicara masalah gaya penceritaan, tentu
saja secara keseluruhan masih sama dengan novel-novel yang pernah Ika tulis
sebelumnya. Dan buat saya itu bukanlah sebuah masalah, karena itulah “penanda”
atau ciri khas dari Ika. Namun, bukan Ika namanya jika ia tidak memberikan
warna baru dalam novel ini.
No
more banker seperti novel-novel yang sebelumnya. Kali
ini, salah satu “warna baru” yang paling mencolok adalah para tokohnya. Ale si “tukang
minyak” dan Anya si konsultan. Ika menggambarkan karakter kedua tokoh utama
tersebut dengan sangat jelas dan cukup kuat. Saya melihat, sang penulis di sini
“men-challenge” dirinya dengan lebih
keras daripada ketika ia menulis novel yang sebelum-sebelumnya. Dan, harus saya
katakan bahwa ia berhasil memenangkan challenge
tersebut.
Sementara itu, untuk jalan penceritaannya
sendiri Ika menggunakan alur maju, namun di dalamnya banyak disisipkan fragmen
cerita dengan alur flashback, misalnya
seperti adegan di mana salah satu tokohnya sedang mengingat-ingat masa lalunya.
Jujur saja, saya belum pernah membaca
versi cerita pendek dari Critical Eleven ini –yang mana pernah diterbitkan
dalam sebuah antologi cerpen oleh Gramedia. Pada permulaan bagian novel ini,
saya –dan mungkin juga beberapa pembeca di luar sana– merasa seperti orang buta.
Saya hanya bisa meraba-raba dan membatin, “Iki
ki ono opo to, sakjane? Tokohnya itu baru punya masalah apa, sih?”
Ya, saya dibuat penasaran setengah mati. Pembaca
di sini seolah “dipaksa” untuk tidak berhenti membaca sebelum melahap halaman
per halaman hingga usai. Bahkan, ketika jawaban akan rasa penasaran itu tadi
sudah terjawab. Saya sendiri sebetulnya agak dilema saat membaca novel ini. Di
sisi lain, saya ingin segera tahu bagaimana ending-nya,
namun saya juga tidak ingin cepat-cepat membacanya. Dan, duh, hingga tulisan
ini saya tulis –beberapa jam setelah selesai membacanya– saya masih merasa
sedikit delusi. Buat novel metropop seperti ini, Ika memang jagonya.
Secara teknis, saya sangat suka dengan
sampulnya. Mulai dari jenis kertas yang digunakan, ilustrasinya, dan pemilihan
warna dan jenis huruf hingga tata letaknya. Sederhanya namun tetap menarik.
Terakhir, dari novel ini pula sedikit banyak
saya sadar tentang pentingnya belajar untuk memaafkan dan menerima. Menerima dan
berdamai dengan kenyataan.
Akhirnya, selamat membaca!
Comments
Post a Comment