Perjalanan Bodhi
Sumber: goodreads |
Judul : Supernova: Akar
Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan ke- : Edisi II, cetakan ketiga, Oktober
2014
Jumlah halaman : viii + 308 halaman
ISBN : 978-602-291-053-4
Ini kali kedua saya membaca Akar.
Sebelumnya, di bangku SMA dulu saya pernah juga membacanya. Keputusan saya
untuk membaca ulang novel ini tidak lain karena ada seorang teman saya yang
memberikan buku ini kepada saya. Dan buat saya apa gunanya buku jika tidak
dibaca, jadi –meski saya sudah pernah membaca sebelumnya, saya tetap memutuskan
untuk membacanya, hehe.
Saya pikir, kalau saya menuliskan
sinopsis cerita yang ada di daamnya itu sudah basi, ya? Karena saya yakin,
banyak orang di luar saya yang sudah mengulas buku ini luar dalam. Intinya adalah
novel berjudul Akar ini berkisah tentang perjalanan Bodhi –si anak yatim piatu,
yang bercita-cita mati. Lucu, ya? Dan memang begitu. Saat membaca novel ini
saya lebih sering tertawa, bahkan pada saat termiris sekalipun.
Perjalanan Bodhi sendiri dimulai sejak ia
meninggalkan wihara dan Guru Liong. Ia pergi berpetualang ke negara-negara di
Asia Tenggara hingga akhirnya kembali lagi ke Indonesia. Ya, saya pikir cukup
sekian inti cerita yang bisa saya sampaikan. Kalian harus membacanya sendiri.
Anyway,
saya sudah membaca semua novel milik Dewi Lestari. Mulai dari yang pertama
hingga yang terbaru –dan saat ini sedang menunggu Intelegensi Embun Pagi.
Menurut saya, Dee selalu menulis dengan bumbu-bumbu yang tepat. Semuanya
ditakar sesuai dengan takaran yang tepat. Begitupun dengan novel ini. Tak heran
bahwa saya pribadi tak pernah menyesal saat membaca karyanya.
Lebih dari itu, tulisannya juga memiliki
ciri khas. Ceritanya kebanyakan tak bisa ditebak. Selalu membuat kita
penasaran, dan tak ingin berhenti sebelum menuntaskan. Saya pikir Dee layak
untuk dimasukkan ke dalam daftar salah satu penulis Indonesia yang berbakat.
Secara isi, saya sebetulnya tak mau kalau
harus mengomentari novel ini –dan novel lain karangan Dee. Pasti jatuhnya
terlalu subjektif –meski toh pada dasarnya resensi buku –apapun, itu memang
cenderung subjektif. Saya terlalu mengidolakan Dee, sehingga nanti jatuhnya
saya hanya memuji novel ini dan tidak berkeinginan untuk memberikan beberapa
catatan.
Kalau secara teknis, dari ukuran bukunya,
saya lebih suka edisi yang baru ini. Praktis untuk dibawa-bawa. Tetapi dari
segi gambar sampul, saya lebih menyukai edisi yang lama. Desain buku yang lama
buat saya lebih sederhana dan lebih membuat penasaran. Tapi, lepas dari itu
saya pribadi sebetulnya tak ada masalah dengan desain sampulnya, kok. Ini Cuma
masalah selera.
Ah, ya! Saya menemukan penggalan kalimat
yang mengena sekali buat saya
“Manusia makin nggak
kayak manusia, Bod. Orang miskin ngerampok televisi, ngerampok HP
–barang-barang yang mereka nggak butuhkan. Lo tau kenapa? karena itulah syarat
untuk jadi manusia zaman sekarang ini. itu juga yang dikejar-kejar orang kelas
menengah biar naik pangkat jadi kelas atas. Dan, kemewahan itulah yang
dipertahankan orang kelas atas....” – halaman 37–38.
See,
novel Dee selalu dapat membuat kita menyadari akan suatu hal –detail kecil yang
sering kali tak kita sadari atau mungkin tak mau kita sadari. Ia selalu menulis
dengan, apa ya namanya, intinya adalah realistis. Tidak muluk-muluk. Tidak
menulis dengan “kosong”, menulis yang indah-indah saja, tapi tidak melihat
realitas yang ada.
Comments
Post a Comment