Sumber: rebloggy.com |
Kafe
tempat kita sering berkunjung –dulu, masih tetap sama.
Masih
dengan sulur-sulur yang merambat di dekat pintu masuknya.
Masih
dengan dinding kayunya yang tak lapuk dimakan usia.
Masih
dengan meja-meja kuno yang bertaplakkan kain motif bunga di atasnya.
Masih
terdapat sebuah lukisan secangkir kopi di pojok bangunannya.
Dan
masih pula terdapat mesin ketik tua di meja kasirnya.
Pun
suasananya masih tetap sama menyenangkannya.
Bedanya
tak ada lagi alunan musik klasik
yang menemani pelanggan untuk menyesap kopinya.
yang menemani pelanggan untuk menyesap kopinya.
Kini
alunan klasiknya telah berganti menjadi alunan jazz,
agar lebih "hidup" kata pegawainya.
agar lebih "hidup" kata pegawainya.
Malam
ini, sepi sekali.
Pelanggan
hanya tinggal sepasang remaja yang sedang kasmaran,
yang
sedang merajut mimpi lan janji di masa depan.
Yang
sedang saling asyiknya melontarkan kata cinta, penuh akan gombalan.
Sepasang
muda-mudi yang tak menyadari,
bahkan tak peduli bahwa bisa saja setelah ini cerita dan janji mereka kandas begitu saja.
bahkan tak peduli bahwa bisa saja setelah ini cerita dan janji mereka kandas begitu saja.
Dan tentunya juga ada aku.
Aku
dengan pasanganku –yang mewujud sebagai masa silamku.
Aku
yang sedang menggali ingatan,
mengingat janji-janji di masa depan yang dibuat pada masa silam.
mengingat janji-janji di masa depan yang dibuat pada masa silam.
Aku
yang sedang melontarkan cacian,
penuh akan cercaan pun makian yang kutunjukkan untuk masa silam.
penuh akan cercaan pun makian yang kutunjukkan untuk masa silam.
Sepasang
wajah penuh akan kegembiraan terpancarkan dari rona mereka.
Sedang
aku?
Jangan
ditanya lagi, wajah penuh sendulah yang tentunya terpancarkan dari rona pipiku.
Sepasang
remaja yang duduk di ujung kafe ini saling bermesraan bahkan sesekali
berpagutan.
Aku
di bangku biasa tempatku berbagi kisah dengannya –dulu,
sibuk berhantaman, tak mau berdamai dengan masa silam.
sibuk berhantaman, tak mau berdamai dengan masa silam.
Malam
semakin kelam.
Jam
terbang kafe ini akan segera usai.
Dua
sejoli itu kini mulai beranjak pergi meninggalkan.
Begitu
pula diriku, yang seharusnya sudah sejak tadi meninggalkan.
Mereka
berjalan beriringan dengan sesekali bersentuhan,
saling
bergandengan.
Menunggu
taksi malam dipinggir jalan, sembari bercakap riang.
Pun
aku begitu.
Aku
berjalan dengan masa silam yang membelit tak mau terlepaskan.
Terkadang
di tengah sunyinya jalanan sesekali aku bercekcok ria dengan ingatan silam.
Masih
sempat pula dalam kesendirian jalanan aku sedikit berharap pada yang silam.
Namun,
pikiran kelam itu segera kuenyahkan.
Agar racunnya tidak kembali
menenggelamkan.
Comments
Post a Comment