Antara Menyapa atau Tidak
Sumber: Diva Press |
Judul : Meant to be
Penulis : Zee
Penerbit : PING!!!
Tahun Terbit : 2015
Jumah Halaman : 232 halaman
ISBN : 978-602-7695-95-5
“Haruskah aku menyapanya? Atau, aku harus tetap menjaga kewarasanku dan tetap duduk di sini? Kedua pilihan itu berkeliaran di pikiranku... Lalu, kilasan-kilasan bayangan dan kemungkinan mengalir di kepaaku, menyuguhkan hasil dari kedua pilihanku.” – halaman 9
Saya pikir beberapa penggalan kalimat
tersebut sangat tepat untuk memberikan kalian bocoran akan bagaimana jalan
cerita di dalamnya. Novel ini berkisah tentang seorang remaja laki-laki bernama
Reo yang cukup introvert. Ia memiliki perawakan kecil, kurus, dengan rambut
lurus tebal.
Cerita bermula dari saat Reo duduk di
salah satu sudut kursi dalam sebuah kedai kopi. Di seberangnya duduklah seorang
remaja perempuan dengan rambut yang juga lurus tebal. Usut punya usut, gadis
tersebut bernama Vali.
Saat melihat sosok gadis itulah, timbul
keinginan Reo untuk menyapanya. Namun, ia ragu. Kedua pilihan –antara
menyapanya atau tidak, itu tiba-tiba terus berkeliaran di pikirannya. Seperti
memutar film dalam kepala. Seketika, saat itu juga, Reo pun membayangkan apa
jadinya jika ia menyapa gadis tersebut. Dan apa pula yang akan terjadi jika ia
mengurungkan diri untuk menyapanya.
Kali ini, mungkin tulisan ini akan lebih
pendek dari tulisan yang sebelum-sebelumnya. Saya tidak mau untuk menuliskan
sinopsis cerita lebih jauh. Takutnya, nanti yang ada saya malah kebablasan
menceritakan seluruh isi di dalamnya.
Sejujurnya, saat membacanya di awal-awal
saya merasa kalau novel ini monoton. Tapi, setelah saya berusaha untuk
mematikan saraf sadar dan memilih untuk menikmati aliran ceritanya kesan monton
yang awalnya saya rasakan tersebut hilang. Saya pikir novel ini punya konsep
yang unik sekaligus sederhana.
Dan menurut saya, konsep unik dan
sederhana itulah yang dijual oleh penulis. Novel ini ditulis menggunakan sudut
pandang orang pertama, namun ditulis dari dua “kacamata” berbeda. Kacamata
pertama adalah apa jadinya jika si tokoh utama –Reo, menyapa sang gadis.
Sementara, kacamata kedua adalah apa jadinya jika Reo tidak menyapa gadis itu.
Buat saya, suasana yang dibangun pada
masing-masing “kacamata” tersebut sama-sama kuat. Tetapi, kalau boleh memilih
saya akan lebih memilih “kacamata” yang kedua. Karena saya merasa aura Reo
lebih jelas tergambarkan di situ.
Dari segi penceritaan, secara keseluruhan
saya merasa tidak ada masalah. Ah, dan ya! Harus saya katakan bahwa novel ini
sangat cocok dibaca untuk remaja. Ceritanya renyah. Saya Cuma kurang suka di
segi teknisnya saja.
Pertama, desain gambar pada halaman dalam
–yang terdapat di setiap permulaan bab, menurut saya justru menimbulkan kesan
penuh. Mungkin akan lebih baik jika gambarnya dibuat lebih kecil saja. Lalu,
saya juga cukup menyayangkan gambar laki-laki peniup saxofon yang ada pada
sampulnya.
Menurut saya, gambarnya kurang bisa
menggambarkan Reo secara fisik. Laki-laki pada gambar tersebut –entah mengapa,
saya merasa terlalu terlihat tua. Padahal dalam novel Reo ini adalah seorang
remaja berumur lima belas tahun. Ya, saya rasa sepertinya itu saja catatan
saya.
Jadi, selamat membaca!
Comments
Post a Comment