Kisah Petualangan Sherlock Holmes
Judul : Sherlock Holmes: Petualangan di Rumah Kosong
Penulis : Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah : Dion, Busyra, Amin
Penerbit : Laksana
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 320 halaman
ISBN : 978-602-296-031-7
Siapa yang tak tahun tentang sosok fiktif, bernama Sherlock Holmes, yang begitu “melegenda”? At least, sekalipun mungkin terdapat beberapa –pembaca tulisan ini, yang belum membaca kisah-kisahnya, tapi dapat saya pastikan bahwa setidaknya mereka pernah mendengar namanya.
Penulis : Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah : Dion, Busyra, Amin
Penerbit : Laksana
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 320 halaman
ISBN : 978-602-296-031-7
Siapa yang tak tahun tentang sosok fiktif, bernama Sherlock Holmes, yang begitu “melegenda”? At least, sekalipun mungkin terdapat beberapa –pembaca tulisan ini, yang belum membaca kisah-kisahnya, tapi dapat saya pastikan bahwa setidaknya mereka pernah mendengar namanya.
Suatu ketika saat saya tengah membaca novel ini disela menunggu jam kuliah berikutnya, seorang teman bertanya pada saya, “Kamu enggak pening mbaca Sherlock Holmes?” ujarnya.
Lalu, saya pun menjawab, “Enggak, ceritanya Holmes itu seru.” Dan seketika itu pula saya kemudian pun menjadi berpikir. Apakah image “memusingkan” telah tertanam begitu dalam pada –sebagian, orang? Sehingga mereka beranggapan bahwa cerita-cerita bergenre seperti Sherlock Holmes ini selalu dianggap “berat” dan kemudian memilih untuk tidak mau membacanya?
Ah, tapi apapun jawabannya –entah iya atau tidak, saya rasa tidak perlu dipusingkan. Toh, hingga saat ini cerita-cerita tentang Holmes ini masih banyak diminati. Ya, setidaknya ini terlihat dari masih terdapatnya beberapa penerbit yang menerjemahkan dan kemudian mempublikasikan tulisan Conan Doyle tersebut.
Tak jauh berbeda dengan Holmes yang mana tak pernah bosan dan selalu merasa tertantang untuk menyelesaikan kasus-kasus baru yang mana lebih unik, lebih sulit dipecahkan, dan bahkan mungkin lebih aneh. Saya pun juga tak pernah bosan dan selalu saja tertarik untuk membaca dan membaca lagi kisah-kisah tentang Holmes ini.
Nah, dalam buku yang kali ini saya resensi ini, terdapat 8 cerita terbaik yang akan membawa kalian berpetualang bersama Holmes dan Dr. Watson. Diantaranya adalah tentang misteri kematian Grimesby Roylott, tentang skandal antara Raja Bohemia dan Irene Adler, serta kasus aneh Violet Smith. Dan seperti kisah-kisah yang sebelumnya –jika kalian pernah membacanya, cerita Holmes ini ditulis melalui kacamata Dr. Watson. Dan, ah, ya, satu lagi! Selalu tidak mudah untuk ditebak –kecuali jika kalian pernah membaca kisah yang sama sebelumnya.
Dari kedelapan cerita tersebut, yang paling saya sukai adalah Kasus Terakhir. Yang mana pada cerita tersebut, Holmes bertemu dengan rival terberatnya, Profesor Moriaty, yang sangat cerdas dan memiliki karier yang cemerlang. Seperti yang saya kutip dari blurb, perseteruan antara keduanya sudah berlangsung sangat lama dan sangatlah sengit. Dan bagian yang paling saya kagetkan –dan juga sedikit mengharukan, adalah saat di mana Dr. Watson tak lagi mendapati jejak kehidupan Holmes dan mengira bahwa Holmes telah benar-benar tewas ditangan Prof. Moriaty yang sangat ingin membalas dendam kepada Holmes.
Setelah saya membaca chapter tersebut, saya tak langsung membaca chapter selanjutnya. Dan justru memilih untuk “merenungkan” beberapa hal –alih-alih mengistirahatkan mata, yang muncul menjadi pertanyaan dalam benak saya. Dan pertanyaan terbesar itu adalah mengapa bab mengenai kematian Holmes ini tidak ditaruh pada bab terakhir saja? Dan sesaat kemudian saya menyadari bahwa pertanyaan saya tersebut begitu bodoh. Seharusnya saya sudah dapat menebaknya dari awal. Kenapa juga harus diletakkan di bab terakhir? Dan bukannya jika diletakkan pada urutan kelima seperti ini justru mengindikasikan bahwa Holmes masih hidup? Bahwa cerita masih akan terus berlanjut? Seketika pun saya merasa konyol dan kemudian menertawakan diri sendiri karena “termakan” twist dalam cerita ini.
Catatan saya untuk novel ini, sih, lebih kepada aspek teknis. Misalnya tidak lengkapnya tanda baca, seperti yang ada pada halaman 298 paragraf kedua dari bawah, yang mana tidak terdapat tanda petik pada awal kalimat. Kemudian, berkaitan dengan pemenggalan kata. Misalnya di halaman 86 pada kata mengulas. Tanda strip di situ diletakkan setelah huruf “n”, sehinggal menjadi “men-gulas”. Bukannya seharusnya tanda strip diletakkan setelah huruf “g”? Dan catatan terakhir terkait dengan aspek teknis ini terdapat beberapa kata salah penulisannya. Salah satu contohnya dapat dilihat pada halaman 294, di mana roti ditulis menjadi rosi.
Kemudian, untuk sampul sendiri sebetulnya saya tidak menemukan relevansi antara judul dengan gambar yang digunakan. Akan tetapi, lepas dari hal tersebut, saya menyukai gambar yang digunakan, terlihat syahdu. Toh, meskipun mungkin tidak relevan dengan judul, tapi saya pikir gambarnya cukup tepat untuk menggambarkan kondisi Kota London pada masa itu –yang mana menjadi latar dominan dalam penceritaan.
Akhirnya, selamat membaca!
Comments
Post a Comment