Lima Kisah dalam Sebuah Perjalanan Panjang Kerinduan
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Cetakan IV, November 2014
Jumlah halaman : ii + 544 halaman
ISBN : 978-602-8997-90-4
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Cetakan IV, November 2014
Jumlah halaman : ii + 544 halaman
ISBN : 978-602-8997-90-4
“Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kau, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya.” – halaman 284.
Sebelum menuliskan lebih jauh, izinkan saya terlebih dahulu untuk mengungkapkan kesan saya seusai membaca novel ini. Lega. Itulah kata yang pertama kalinya muncul dalam pikiran saya ketika saya telah selesai membacanya. Entah apa sebab pastinya, yang pasti rasa lega tak terkira bercampur dengan bahagia menguar begitu saja saat itu.
Akan tetapi, di sisi lain harus saya katakan bahwa saya kecewa. Ketika membaca blurb di belakang ekspetasi saya sangatlah tinggi. Namun, pada akhirnya –mohon maaf, ternyata “Rindu” ini kurang sesuai dengan ekspetasi yang saya harapkan. Ah!
Meski memang belum semuanya, namun sebagian besar novel milik Tere Liye sudah pernah saya baca –entah itu dari membeli ataupun meminjam ke perpustakaan atau teman. Dan, dari semua yang pernah saya baca itu, novel yang ini masuk dalam kategori cukup membosankan. Alurnya sungguh amat lambat. Terlampau lambat bahkan pada beberapa bagian. Dan lagi, banyak adegan yang diulang-ulang.
Namun begitu, novel yang diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga ini terasa memiliki magnet yang cukup besar. Ini terlihat dari bagaimana –setidaknya untuk saya pribadi, tetap ingin menuntaskannya karena ingin segera mengetahui akhir ceritanya. Ya, saya pikir yang “dijual” pada novel ini ialah lebih kepada ending-nya dan bukannya jalan ceritanya –yang cenderung statis.
Melihat alur yang lambat tersebut, bagi saya itu merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menarik pembaca untuk terus membaca karena saking penasarannya akan jalan cerita. Namun, di sisi lain akan menjadi sebuah bomerang bagi para pembaca yang ‘tidak sabaran’. Ya, bukan tidak mungkin bagi kelompok yang kedua itu tadi untuk segera menutup buku sebelum cerita ditandaskan.
Dan, ah, iya! Ada satu hal lagi yang perlu sangat diperhatikan. Dalam beberapa kata masih banyak saya jumpai kesalahan penulisan. Misalnya saja pada halaman 233, di mana Chef Lars dituliskan menjadi Chef Laras (ketambahan huruf “a”). Lalu, ada juga contoh kesalahan penulisan lainnya pada hala 227 misalnya, yang mana mereka ditulis menjadi meraka.
Saya tahu bahwa tak ada seorang pun yang sempurna. Akan tetapi, bagi saya kesalahan penulisan ini merupakan sesuatu yang cukup fatal –meski memang pembaca tetap akan mengerti dengan apa yang dimaksudkan pada kata yang salah tulis tersebut. Fatal di sini maksud saya adalah sebelum buku ini terbit pastilah sudah melalui proses editing dan segala macam oleh editor dan teman-temannya. Saya pikir tidak seharusnya lagilah ada kesalahan, terlebih dalam penulisan. Lagi pula, saya pikir Republika merupakan salah satu penerbit besar, sayang sekali jika masih sering terdapat ketidaksempurnaan dalam produknya seperti ini.
Untuk poin plusnya, saya tidak mau menuliskannya dengan detail. Cukup intinya saja bahwa harus diakui bahwa nilai moral yang berusaha untuk disampaikan oleh penulis kepada pembaca sungguh amat luar biasa. Cara penyampaiannya pun lagi-lagi tetap terbilang ya... mengesankan –meski tidak semengesankan beberapa bukunya yang dulu.
Kalau saya boleh bilang, cerita di dalamnya lebih berupa fragmen-fragmen kisah mengenai Bonda Upe, Daeng Andipati, Mbah Kakung, Ambo Uleng, dan Gurutta yang ‘digabungkan’ sedemikian rupa ke dalam satu situasi yang sama –di atas sebuah kapal “Blitar Holland” dalam sebuah perjalanan menuju tanah suci. Ah, sesungguhnya saya merasa kesulitan untuk menuliskan kalimat itu tadi dengan tepat.
Kalau saya boleh bilang, cerita di dalamnya lebih berupa fragmen-fragmen kisah mengenai Bonda Upe, Daeng Andipati, Mbah Kakung, Ambo Uleng, dan Gurutta yang ‘digabungkan’ sedemikian rupa ke dalam satu situasi yang sama –di atas sebuah kapal “Blitar Holland” dalam sebuah perjalanan menuju tanah suci. Ah, sesungguhnya saya merasa kesulitan untuk menuliskan kalimat itu tadi dengan tepat.
Pada intinya, kisah di dalamnya adalah tentang pertanyaan-pertanyaan yang dibawa oleh lima orang penumpang dalam Kapal Blitar Holland. Satu hal yang menjadi kesamaan dari pertanyaan kelima penumpang tersebut adalah bahwa semua berkaitan dengan masa lalu yang teramat pilu. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan yang kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan.
Sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan, maka tidak kemudian otomatis selalu cepat didapatkan jawabnya. Bahkan, tak selalu pula ada jawabnya. Terkadang, ada pertanyaan yang tak ada jawabannya. Pun penjelasannya.
Sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan, maka tidak kemudian otomatis selalu cepat didapatkan jawabnya. Bahkan, tak selalu pula ada jawabnya. Terkadang, ada pertanyaan yang tak ada jawabannya. Pun penjelasannya.
Dan, jangan pernah tanyakan pada saya mengenai akhir ceritanya. Akhirnya, selamat membaca sendiri!
Comments
Post a Comment