Lelaki Harimau, Kisah Surealis
Judul : Lelaki Harimau
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I (cover baru), Agustus 2014
Jumlah Halaman : 191 halaman
ISBN : 978-602-0749-7
Ah, lagi-lagi saya bingung kalau harus menuliskan sinopsis cerita novel ini. Pun saya rasa sinopsis di sini memang tak perlu untuk dituliskan. Biarlah menjadi kejutan. Sebelumnya, ini buku kedua dari Eka yang saya baca. Buku pertama yang saya baca adalah “Seperti Rindu, ...” yang sampul bukunya manis sekali.
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I (cover baru), Agustus 2014
Jumlah Halaman : 191 halaman
ISBN : 978-602-0749-7
Ah, lagi-lagi saya bingung kalau harus menuliskan sinopsis cerita novel ini. Pun saya rasa sinopsis di sini memang tak perlu untuk dituliskan. Biarlah menjadi kejutan. Sebelumnya, ini buku kedua dari Eka yang saya baca. Buku pertama yang saya baca adalah “Seperti Rindu, ...” yang sampul bukunya manis sekali.
Dari kedua buku itu, satu hal yang dapat saya simpulkan bahwa Eka selalu mengawali cerita dengan permasalahan utamanya. Dengan kata lain, jika biasanya kita akan menemui inti cerita berada di tengah ataupun akhir, maka Eka memberikan –sengaja membocorkan, inti cerita sedari awal. Untuk saya pribadi, tentu saja hal itu terhitung terlalu “berani”. Akan tetapi, hal tersebut saya pikir juga menjadi tantangan tersendiri bagi Eka.
Ya, tantangan tentang bagaimana kemudian ia harus mengemas cerita agar pembaca –yang sudah menyadari inti ceritanya, tetap mau membacanya hingga selesai. Agar tetap ada klimaks di dalam ceritanya. Dan dengan membaca novel ini pula pertanyaan saya tentang bagaimana ia harus bisa mempertahankan pembaca agar selesai membacanya terjawab sudah. Permainan Eka menurut saya ada di alur. Novel ini sendiri menggunakan alur maju-mundur.
Sebenarnya, novel yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, alurnya terbilang berjalan lambat. Intinya hanya berkisah tentang dibunuhnya Anwar Sadar oleh Margio. Tapi, yang harus diakui di sini adalah bahwa Eka terbilang sangat brilian untuk membuat cerita menjadi panjang dan berisi. Semua pertanyaan dan rasa penasaran yang datang saat kita tengah menikmati novel ini terjawab sudah satu persatu.
Kalau saya boleh bilang, novel dengan cerita yang ditulis –menurut saya, dengan gaya surealis ini berpola “sebab-akibat”. Ah, bagaimana ya? Saya sendiri bingung bagaimana harus menuliskannya. Saya belum menemukan padanan kata yang pas untuk mengungkapkannya. Intinya adalah bahwa semua yang terjadi satu persatu akan terkuak.
Satu hal lagi yang dapat saya simpulkan –dari dua novel Eka yang pernah saya baca, bahwa ia selalu mengambil tokoh dengan latar belakang kelas sosial kebawah. Yang ia ceritakan sebenarnya selalu sederhana, dalam artian ia menceritakan realitas yang ada. Caranya menghantarkan ceritalah yang membuat ceritanya tak biasa.
Nah, bicara soal teknis, saya sangat suka dengan sampulnya. Simpel memang, tapi saya pikir itu sudah cukup representatif. Dan penggunaan warna merah bata pada background-nya, saya pikir itu sangat tepat untuk menegaskan karakter dari Margio.
Satu hal yang menjadi kendala bagi saya –dan mungkin juga beberapa pembaca lainnya, saat membaca novel ini adalah bahwa kalimat-kalimat yang dituliskan Eka pada novel ini terlampau panjang. Pertama, itu membuat saya pribadi cukup kelelahan dalam membaca dan mencernanya. Kedua, saya jadi harus mengulang membaca beberapa kali –pada entah berapa kalimat, karena tidak paham dengan apa yang dimaksud.
Ah, tapi secara keseluruhan novel ini cukup menghibur buat saya. Dan akhirnya, selamat membaca!
Comments
Post a Comment