Akhir Misi Pelarian Aktivis Mahasiswa Kiri
Judul : Larung
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan Ke- : 4, Mei 2013
Jumlah Halaman : viii + 295 halaman
ISBN : 978-979-91-0569-1
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan Ke- : 4, Mei 2013
Jumlah Halaman : viii + 295 halaman
ISBN : 978-979-91-0569-1
“Kata-kata Larung berhenti bersama suara letupan yang redam. Saman mendengar tubuh itu jatuh ke dekat sisinya. Kepalanya menoleh ke arah itu seperti mencari kepastian. Tapi ia mendengar kedap letupan sekali lagi. Dalam sepertiga detik itu yang ia inginkan hanyalah pamit pada Yasmin. Setelah itu ia diam. Diam yang tak lagi menunda.” – halaman 295.
“Arrrrrgggh!”
Teriak saya seusai membaca habis novel ini. Sebelumnya, izinkan saya terlebih dahulu untuk mengungkapkan kesan sebelum membahas hal lainnya. Jujur saya kecewa bercampur frustasi saat semua halaman di dalamnya habis saya baca. Perlu diketahui bahwa kecewa dan frustasi di sini bukanlah dalam konotasi negatif, melainkan sebaliknya. Ya, saya kecewa karena mendapati bahwa saat sedang mencapai klimaks, jalan cerita justru sudah selesai.
Kutipan diatas merupakan salah satu adegan yang sangat genting-gentingnya. Parahnya, kutipan tersebut merupakan pragraf terakhir yang ada pada novel ini. Ya, ceritanya berhenti seenaknya begitu saja. Why? Ini tidak adil. Bagaimana tidak? Ditengah-tengah saya sedang asyik menikmatinya, ditengah-tengah konflik sedang memuncak, keadaan sedang genting-gentingnya, semuanya selesai begitu saja. Mbak Utami jahat. Lagi-lagi akhir cerita diserahkan kepada interpretasi masing-masing pembaca. Uh!
Secara keseluruhan, cerita Larung ini ditulis dengan lebih matang daripada kisah Saman. Namun, sebelumnya saya sempat mengalami “kebingungan”. Kisah ini diawali dengan penceritaan latar belakang Larung –lebih tepatnya dimulai dengan keinginannya untuk “membunuh” sang nenek. Nah, saya pikir pun pada lembar-lembar selanjutnya akan langsung difokuskan pada penceritaan mengenai proses pelarian tiga aktivis kiri. Akan tetapi, yang saya dapati justru (kembali pada) lanjutan kisah tentang Cok –yang ditulis dengan gaya “buku harian”, lalu Laila –masih dengan harapannya dapat bertemu dan bersatu bersama si lelaki beristri, kemudian kembali ke tahun 1993, berlanjut maju ke tahun 1996, dan kamudian masuk pada cerita dengan kacamata Yasmin –dengan kisah percintaannya dengan Saman, hingga akhirnya berlanjut kepada inti cerita –yang telah tertera pada blurb.
Ya, lagi-lagi kisah di dalamnya dibungkus dengan fragmen-fragmen kisah dari kacamata masing-masing tokohnya. Dan hingga separuh halaman lebih, belum juga saya temui bagian yang bercerita mengenai aktivis mahasiswa kiri yang dibantu Larung untuk melarikan diri. Bagian tersebut baru mulai saya temui ketika memasuki halaman ke 190.
Awalnya, mengetahui hal ini saya cukup takut. Takut kalau-kalau inti cerita tidak sempat mencapai klimaks. Namun, pada akhirnya harus saya akui bahwa cerita ini tetap memiliki klimaks. Hanya saja, bersamaan dengan klimaks tersebut berakhir pulalah kisah di dalamnya. Dan seperti yang sudah saya tuliskan diawal, hal tersebut membuat saya merasa frustasi.
Lepas dari hal tersebut, ada tiga tokoh baru dalam novel ini, yakni para aktivis kiri itu sendiri yang terdiri dari Koba, Wayan Togog, dan Bilung. Nama yang dipakai ketiganya merupakan nama samaran. Tujuannya kurang lebih sama dengan nama samaran yang juga dipakai oleh Saman maupun Larung. Menutup identitas asli.
Koba digambarkan dengan sifat yang tenang, kalem. Sedangkan, Wayan Togog lebih cenderung emosional dan mudah tersinggung. Kemudian, Bilung sendiri digambarkan bertubuh gempal, bukan seseorang yang rakus pemikiran, tidak pernah berlagak filsafati, dan menyukai lelucon. Dan ah, iya! Sepertinya saya lupa menggambarkan perwatakan Larung diawal tadi. Ya, Larung –di mata Cok, adalah anak yang aneh, tatapannya tajam, tidak tinggi –untuk ukuran laki-laki, dan cerdas serta misterius.
Anyway, lagi-lagi saya suka dengan gambar sampul halaman depan yang digunakan pada novel ini. Buat saya, sedikit banyak itu cukup representatif. Namun, lepas dari itu, yang paling saya suka adalah tone-nya. Pewarnaannya manis sekali. Lebih manis dari pada sampul edisi yang baru milik Saman.
Terakhir, sebelum saya akhiri. Pada bagian blurb terdapat 2 buah pertanyaan, dan di sini sekiranya saya mau menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, tentang apakah Larung justru menyeret para aktivis tersebut dalam kegelapan? Jawabannya (mungkin) tidak. Kedua, apakah misi itu berhasil? Jawabannya saya tidak tahu.
Tidak puas dengan jawaban saya? Maka, selamat membaca!
Comments
Post a Comment