[Book Review] Erau, Kota Raja


Menjelajah Kutai Lewat Novel
Sumber: goodreads

Judul : Erau, Kota Raja
Penulis : Endik Koeswoyo
Penerbit : PING!!!
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 204 halaman
ISBN : 978-602-296-056-0

“Gue masih belum nemu makna yang tepat tentang kata jodoh. Terlalu banyak pertanyaan di benak gue tentang jodoh. Kapan sebenarnya dua orang itu disebut berjodoh? Apakah ketika mereka mulau jatuh cinta lalu pacaran? Lalu, kalau putus, berarti mereka bukan jodoh?” – halaman 21.

Itulah pertanyaan Kirana yang tak juga ia tenemukan jawabannya. Putusnya ia dengan Doni –pacarnya dulu, tak pelak ternyata membuat perasaannya gundah gulana. Empat tahun hubungan tersebut dibangun, dalam hitungan empat menit hubungan itu hancur. Kepastian yang tak juga diberikan Doni kepada Kirana perlahan membuat Kirana lelah sendiri. Hingga pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengakhiri semuanya. Melupakan impiannya untuk dipinang oleh Doni. Usianya saat itu telah menginjak 26 tahun. Usia merupakan “bom” bagi seorang gadis, maka wajar apabila Kirana kemudian meminta kepastian kepada Doni.

Singkat cerita, saat tengah gundah memikirkan jodoh yang tak juga kunjung datang, atasannya memintanya untuk pergi ke Kutai Kartanegara guna meliput Festival Erau. Tak kuasa menolak, pada akhirnya dengan terpaksa ia menerima tugas tersebut. Pukul 10 pagi, tepat di hari setelahnya ia diberikan tugas tersebut, ia pun segera bertolak ke Balikpapan. Malangnya, di tengah keletihannya karena perjalanan yang menghabiskan waktu total lebih kurang 6 jam, setibanya di Kutai ia malah tak kebagian kamar hotel. Seluruh kamar hotel di Kutai telah penuh semua, maklum saja bertepatan dengan Festival Erau ini banyak sekali wisatawan dari dalam dan luar negeri yang bertandang.
Namun, berkat kebaikan hati keluarga Pak Camat, ia pun mendapatkan tempat tinggal untuk sementara waktu selama di sana. Ya, Kirana tinggal bersama keluarga Pak Camat di rumah dinasnya. Keluarga pak camat yang lain, mengetahui kedatangan Kirana pun menyambutnya dengan ramah dan baik sekali. Suasana kekeluargaan yang hangat membuat Kirana merasa senang dan betah tinggal di sana. Sangat jauh berbeda dengan apa yang ia temui dan jalani di Jakarta.
Nah, dalam melakukan tugasnya untuk meliput festival tersebut, Kirana selalu ditemani oleh Reza. Entah lebih tepat disebut sebagai kesialan atau keberuntungan atau apapun itu, belum genap empat hari ia berada di sana, Kirana mulai menaruh rasa kagum kepada Reza –pemuda yang awalnya ia anggap songong dan belagu. Seperti Kirana, Reza pun begitu, ia merasa senang berada dekat dengan Kirana. Namun, yang menjadi menjadi masalah kemudian adalah Bu Tati –Ibu Reza sudah memiliki (calon) menantu pilihan. Alia namanya. Alia sendiri pun memiliki perasaan yang lebih kepada Reza. Selama 4 tahun lamanya, ia setia menunggu Reza untuk “melihatnya”.
Di samping bercerita soal kisah antara Kirana dan Reza. Novel ini juga mengajak kita untuk menjelajah Kutai Kartanegara, lebih tepatnya ke tempat wisata-wisatanya. Entah kenapa, pada saat membacanya saya justru lebih tertarik untuk membayangkan tempat-tempat yang dideskripsikan di novel ini. Rasanya suatu saat nanti saya ingin sekali pergi ke Kutai (mungkin bisa diagendakan untuk pilihan tempat KKN tahun depan, hehe). But seriously, novel ini saya pikir cukup bagus. Tanpa “meninggalkan” fokus ceritanya, novel ini tetap dapat imbang dalam mengeksplorasi beberapa hal tentang Kutai.
Pada novel yang dituliskan dengan sudut pandang orang ketiga ini, tokoh utama dipegang oleh Kirana, juga tak lupa Reza. Kirana sendiri digambarkan sebagai gadis cantik yang mandiri, aktif, cerdas, namun jutek dan memiliki gengsi yang tinggi. Sedang, Reza cenderung keras kepala tapi sama-sama cerdas seperti Kirana. Selain keluarga Pak Camat, tokoh sampingan lain yang ikut berperan dalam cerita ini adalah Ridho –pemuda gendut yang juga kocak, Alia –yang sabar menunggu cintanya berbalas, Bu Tati –Ibu reza yang cukup emosional, dan Doni –yang tak jelas.
Kalau dari saya pribadi, yang cukup disayangkan pada cerita beralur maju ini adalah eksekusi penyelesaian konflik dan akhir cerita yang kurang “nendang”. Rasa-rasanya kurang klimaks. Akan tetapi, secara keseluruhan saya cukup menyukainya. Ah, ya, dan satu lagi yang membuat saya merasa surprise, awalnya saya pikir cerita ini mudah ditebak. Awalnya A, endingnya pasti B. Namun, ternyata saya salah. Ada twist besar di dalam cerita ini. Dan menurut saya itulah poin yang “dijual” pada novel ini.
Untuk segi sampul menurut saya biasa saja. Tak ada yang menarik. Tapi, di sisi lain dengan gambar sampul yang seperti itu –ada Denny Sumargo, Nadine Chandrawinata, dan Doni Sibarani, membuat pembaca jadi lebih mudah dalam membayangkan atau mengimajinasikan jalan cerita. Kemudian, untuk desain halaman dalamnya sendiri saya pikir terlalu kaku. Tapi, itu tidak kemudian menjadi masalah besar, kok. Terakhir, meski jawaban atas pertanyaan Kira tentang jodoh sudah terjawab di akhir cerita, namun penulis di sini tetap menyerahkan ending cerita kepada interpretasi masing-masing pembaca.
Akhir kata, selamat membaca dan berkelana ke Kutai Kartanegara!

Comments